Suara Politik, Lingkungan Berisik
Euphoria
Terlihat belasan motor, tidak bahkan
puluhan motor seolah merajai setiap jalan yang mereka lewati. Grrongg grooongg grongg gronggg,
permainan pola interlocking atau “imbal – imbalan” dari suara knalpot
menghantam setiap pendengaran yang dilewatinya. Asap mengapung menyempurnakan
efek rumah kaca di sekitarnya. Bendera berlabelkan partai politik dikibaskan
dengan penuh ambisi oleh mereka para pengendara penggedor semangat kampanye
politik tahun ini.
Gleyer
sana gleyer sini begitulah suasana
kota Solo pada hari pertama masa kampanye pra pesta demokrasi yang
perhelatannya pada 9 April mendatang. Pemandangan yang kerap disuguhkan oleh
para “gleyerian” ini mungkin akan
sering dijumpai selama masa kampanye. Suara knalpot yang meraung di jalan –
jalan protokol menjadi suatu tanda dimulainya persaingan berbagai partai
politik terutama agen rahasianya yang biasa kita sebut “tim sukses”. Lebih dari
satu Partai dalam sehari melancarkan strategi politiknya untuk meraup pundi –
pundi suara. Para tim sukses nampak tidak ingin menyiakan masa menebar benih
aspirasi dengan memaksimalkan kegiatan kampanye. Konvoi sepeda motor menghiasi
jalanan kota Solo yang begitu terik di siang hari. Atraksi gleyer pastinya tidak ketinggalan dan sepertinya memang menjadi
senjata yang efektif dalam menarik perhatian masyarakat.
Kontradiksi
Media
suara knalpot yang lazim digunakan suporter PERSIS Solo untuk menyemarakan
pertandingan di Stadion Manahan, kini begitu fungsional serta keberadaanannya
yang menimbulkan celah kontradiksi. Frekuensi suara knalpot yang dimodifikasi
memiliki daya rambat suara yang cukup luas, sehingga dapat menjangkau perhatian
masyarakat pada radius tertentu. Menguntungkan bagi para tim sukses dalam usaha
mengeluarkan “taring” politik. Atmosfer Pemilihan Umum pun menjadi lebih
“semarak”. Beberapa kelompok sepeda motor dengan permainan tarikan gasnya
tersebar di berbagai titik belahan Kota Surakarta Hadiningrat. Suasana siang
dengan terik yang menyengat kulit, begitu sempurna dengan teriakan knalpot yang
terdengar dari sekumpulan motor yang lewat silih berganti. Namun, perlu diingat kembali semakin
banyak praktisi gleyer di jalanan
yang ikut menyemarakan kampanye, semakin berkurang pula pengguna knalpot
standar. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan cita – cita para aparat lalu
lintas dalam memperjuangkan ketertiban di jalan raya.
Kebisingan
yang ditimbulkan gerombolan gleyer di
jalanan sudah barang tentu menjadi polusi suara. Emisi gas yang ditimbulkan
sedikit banyaknya menimbulkan ekses terhadap kondisi lingkungan. Aparat
pemerintah dalam hal ini pihak Kementrian Lingkungan Hidup yang bekerja sama
dengan menteri yang membawahi bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ),
telah membuat aturan mengenai penggunaan knalpot standar, yang muaranya
menjadikan kebisingan dan emisi gas buang berlebih sebagai sebuah pelanggaran.
Hal tersebut diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 48 Ayat 3 tentang ambang
batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor. Sanksi bagi
pelanggarnya akan dijerat Pasal 285 Ayat 1 UULAJ. Namun, aturan di atas
sepertinya menjadi pengecualian dalam waktu – waktu tertentu, salah satunya
masa perebutan aspirasi para Partai Politik seperti sekarang ini.
Ironi pengharapan
Sehari
sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah melaksanakan Deklarasi
Kampanye Berintegritas dengan tema Suara untuk Indonesia di Lapangan Monas,
Sabtu (15/3). Acara yang digelar serentak seluruh Indonesia ini sekaligus
menandai dibukanya kampanye rapat umum Pemilu 2014, yang dijadwalkan pada 16
Maret hingga 5 April 2014. Kampanye dengan wacana “integrasi” di dalamnya,
seperti menjadi suatu keharusan. Integrasi yang menjadi cita – cita KPU melalui
suara rakyat, pesta demokrasi yang diawali dengan mutu sehingga memiliki
potensi dan kemampuan, memancarkan kewibawaan serta menjunjung tinggi kejujuran
adalah do’a yang harus diraih dengan kerja keras bersama. Masyarakat memang
berharap Pemilu tahun ini bisa lebih berkualitas sehingga mencetak kader –
kader yang mumpuni dalam memimpin negeri dan sarat akan integritas sebagaimana
diwacanakan oleh KPU.
Namun,
apakah kampanye dengan bermodal polusi dan ber-“produk” ekses merupakan salah
satu bentuk dari kampanye berintegritas? Mungkin para pimpinan dan pemikir di
atas dapat menjawab pertanyaan tersebut bahkan bisa saja hanya dianggap sebagai
pertanyaan retoris. Kampanye dengan merusak lingkungan, mengganggu ketertiban,
menonaktifkan aturan secara sementara begitu terlihat dengan antusias yang
tinggi. Inilah cara masyarakat kita dalam berpesta demokrasi. Sing penting gayeng, sing penting rame,
konsep yang tidak dilandasi dengan adanya proses dialektika sehingga untuk satu
kepentingan kadang tidak terasa telah menerobos nilai – nilai lain yang
mestinya tetap harus diindahkan.
Pergeseran pikir
Bising
yang dimaknai polusi kini menjadi media penyuara politik pada masa kampanye.
Asap knalpot yang membuat suhu lingkungan semakin naik berbanding lurus dengan
suasana panasnya persaingan di antara Partai Politik. Bunyi keras yang memecah
keramaian bahkan dapat mengganggu pendengaran dipandang cocok untuk dijadikan
sebagai sarana menyampaikan aspirasi. Kini suara noise menjadi wacana politik yang tidak bisa lepas adanya oleh para
Juru Kampanye (JURKAM). Polusi suara yang mengganggu pendengaran dan ketertiban
serta gas emisi knalpot yang merusak lingkungan seakan diberi kesempatan untuk
selalu hadir pada masa kampanye. Tidak ada yang menegur, mungkin karena ini
momen pesta demokrasi dan menjadikan keberadaan terebut sebagai pengecualian.
Esensi
dan pemikiran mutakhir dalam menjawab persoalan negeri mungkin yang menjadi
fokus para “pabrik” pencetak pemimpin di negeri ini. Namun tidak dapat
dilupakan bahwa dalam berpolitik apapun kita tidak terlepas dari adanya dimensi
ruang yang tetap harus dijaga eksistensinya. Hal kecil sepertinya, akan tetapi
dari persoalan kecil pembenahan bangsa ini seharusnya dimulai. Seperti
problematika rakyat kecil yang tak kunjung terselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar