etnomusikologi 2011

etnomusikologi 2011
makrab '11

Rabu, 17 September 2014

Dakwahtainment tausyiah atau nonton hiburan?

Dakwahtainment
 tausyiah atau nonton hiburan?

Dakwah di Bulan Suci

Bulan suci ramadhan bagi umat muslim merupakan momentum dalam meningkatkan ibadah untuk mendapatkan pahala yang berlipat. Atmosfer ramadhan  setiap tahunnya selalu terlihat berbeda dengan bulan-bulan lain.  Salah satu indikator ialah event keagamaan yang konsentrasinya semakin mengental‚baik kegiatan di lingkungan masyarakat umum maupun program-program religi yang digelar oleh media khususnya media elektronik. Gebyar ramadhan dengan jutaan aktifitas berbagi ilmu setiap harinya menjadi kegiatan annual bagi masyarakat muslim Indonesia. Aktifitas dakwah  menjadi suatu yang inherent bagi muslim dan intensitasnya meningkat drastis di bulan suci. Tak terkecuali pada ramadhan tahun ini, berbagai kegiatan ceramah dan tausyiah di seluruh pelosok tanah air begitu gencar dilakukan dalam rangka mengisi waktu ramadhan dengan tolabul ‘ilmi. Media elektronik seperti televisi tidak ketinggalan dalam menyemarakan bulan suci umat muslim ini dengan berbagai program religi bertemakan ramadhan. Acara-acara tausyiah digelar hampir di setiap stasiun televisi swasta ataupun negeri. Bahkan salah satu format dakwah yang sedang eksis yaitu dakwahtainment yang diusung oleh beberapa media televisi‚ yakni kolaborasi kegiatan dakwah dengan diselingi beberapa jenis hiburan seperti perform musik serta selingan humor. Namun menjadi problematik jika kegiatan dakwah sebagai sarana berbagi dan mendapatkan ilmu mengalami pergeseran dalam sudut pandang tujuan yang disebabkan persentase dari materi dakwah dan hiburan yang kurang ideal. Kemasan acara yang disajikanpun menjadi salahsatu sorotan yang mungkin dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi oleh masyarakat muslim di tanah air.

Kemasan Lazim dan Dakwahtainment

Media televisi menyajikan berbagai program acara seperti tabligh akbar‚kultum‚ tausyiah dan sejenisnya yang dikemas dengan memasukan sentuhan kreatif agar acara yang disajiakan kepada para pemirsa dan penonton lebih menarik.  Jika melihat lazimnya masyarakat‚ aktifitas dakwah yang biasa dilakukan adalah dengan format sederhana, Da’I membawakan materi ceramah di atas mimbar, duduk berlesehan di panggung kecil, maupun sambil berdiri di depan para mustami’. Acara yang lazim digelar tentunya menitik beratkan pada konten ceramah, waktu semaksimal mungkin untuk jalannya transfer ilmu, walaupun tidak menutup kemungkinan diselingi dengan perform musik sebagai pelengkap acara, namun sebagian besar musik yang ditampilkanpun bernuansa islami seperti nasyid, rebana, qasidah, dan sejenisnya. Semua rangkaian acara tausyiah tersebut dirangkai dengan sajian sederhana bernuansa islami yang kental dan tenang sehingga efektif karena para mustami fokus dalam menyerap materi dakwah yang disampaikan. Aktifitas dakwah yang ditayangkan oleh media televisi sebelumnya mengusung format seperti yang sering digelar oleh masyarakat, walaupun memang sedikit menyisipkan kreatifitas dalam segi properti dan sebagainya untuk memperindah sajian acara. Seiring dengan perkembangan kreatifitas yang semakin di explore, kini hadirlah dakwahtainment. Sebuah bentuk baru dari dakwah yang dibumbui oleh elemen-elemen hiburan serta disajikan layaknya sebuah konser musik pada panggung besar dan begitu glamour. Pengisi acara pun menjadi lebih bervariasi, tidak hanya sang ustad yang menyampaikan materi keagamaan, bintang tamu pengisi acara pun semakin bervariasi. Tidak hanya selingan musik yang bergenre nuansa islami, tetapi penyanyi musik pop bahkan girls dan boys band tidak ketinggalan dalam menyemarakan perhelatan tabligh akbar tersebut. Ada satu pemandangan yang unik pada program tabligh akbar yang di siarkan salah satu stasiun televisi, ketika jalannya tabligh akbar muncul fandom dari pada para performer musik dilengkapi dengan spanduk sebagai label fanatisme dari salah satu girls band yang hadir di malam itu. Pada akhirnya kesan yang ditimbulkan malah seperti pagelaran konser musik yang diselingi ceramah. Tentunya judul acara “Tabligh Akbar” tersebut dipertanyakan kembali jika melihat kemasan mix and match tausyiah dan hiburan seperti di atas. Jika dilihat antusiasme penonton juga cenderung lebih mengapresiasi para bintang tamu yang seharusnya berfungsi sebagai selingan hiburan. Fenomena seperti ini menjadi suatu yang timpang terutama bila kita telaah dari sudut pandang tujuan serta metode dakwah islam yang lebih ideal.

Renungan

Dari kasus di atas barangkali timbul berbagai pertanyaan, salah satunya tujuan apakah yang media usung dengan membuat model dakwah seperti di atas, jika memang sebagai wadah untuk menebar ilmu kepada masyarakat, apakah dengan cara menyisipkan hiburan yang lebih dominan akan menggerakan masyarakat untuk fokus terhadap materi dakwah. Realitanya yang terjadi adalah munculnya para fans pengisi hiburan. Hal ini membuat pertanyaan berikutnya, apakah mereka datang untuk mencari ilmu ataukah sekedar melihat penampilan salah satu pengisi acara yang diidolakan? Jika ironisnya memang hal tersebut yang terjadi maka acara tabligh akbar kini telah mengalami pergeseran tujuan yang tadinya sebagai ajang untuk mendapatkan ilmu, malah menjadi wadah tampilnya para pengisi hiburan sehingga essensi tolabul ‘ilmi menjadi tipis. Dakwahtainment memang merupakan sebuah karya media, terefleksi dari pengaruh globalisasi yang menstimulan kreativitas tak terbatas serta bertumpu pada aspek komersil. Hadirnya format dakwah tersebut tentunya diterima dan dikonsumsi masyarakat muslim Indonesia secara baik, karena memang kegiatan ceramah dan tausyiah yang ditayangkan di televisi mempermudah kita dalam mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya. Namun harus direnungkan pula bagaimana gelaran dakwah oleh media tersebut mampu mendorong masyarakat agar secara positif lebih antusias pada essensi dakwahnya bukan membuat hiburan yang mendominasi.


Teater GERKATIN Solo “Berbeda Bukan Penghalang Berekspresi”

Teater GERKATIN Solo
“Berbeda Bukan
Penghalang Berekspresi”

Momentum sumpah pemuda telah sepekan lebih berlalu, kegiatan yang bertemakan peringatan bangkitnya “gairah” persatuan para pemuda bangsa tersebut digelar di berbagai tempat, baik oleh masyarakat pada umumnya maupun para kelompok atau gerakan – gerakan pemuda di tanah air. Seluruh pemuda negeri berbondong – bondong meneruskan semangat para pemuda dengan berbagai cara. Berkarya untuk bangsa, itulah angan yang mencambuk nurani para pemuda untuk terus memanjat tebing proses pencapaian asa. Berbagai kegiatan, ide, karya, aksi, dan sebagainya, bagi pemuda yang “sehat” secara fisik tentunya memungkinkan untuk berbuat berbagai hal di atas. Namun, bagaimana dengan saudara kita sesama pemuda yang oleh Tuhan dikaruniai fisik tidak sempurna? Dapatkah mereka menikmati atmosfer sumpah pemuda? Bagaimanakah mereka berbuat dalam ketidaksempurnaanya itu?

Secercah Harapan
Teater Gerakan Kesejahteraan Anak Tuna Runggu Indonesia (GERKATIN) merupakan wadah kreativitas pemuda Tuna Rungu Solo yang terbentuk pada 2009 lalu. Agung “Tompel” seorang sutradara yang mempelopori kelompok ini, berhasil mengantarkan para penyandang difabel Tuna Rungu Solo untuk berekspresi dan berkarya seni khusunya dalam bidang sandiwara. Terbentuknya kelompok teater ini tentunya adalah media yang cocok untuk sarana berekspresi dan ajang pembuktian kepada masyarakat bahwa merekapun dapat melakukan sesuatu yang bermakna, sarat nilai, dan berestetika tinggi.   
            Agus (23) seorang Tuna Rungu asli Solo, menyatakan bahwa saat awal terbentuknya kelompok, dia merasa khawatir. Perasaan yang lebih menjurus terhadap  keraguan akan kemampuan dirinya. Tentunya beberapa teman sesamanya juga merasa demikian, berprasangka ketidaksanggupan terhadap dirinya sendiri. Namun, berkat peran serta dari berbagai pihak terutama seperti teman – teman dari kelompok teater Peron FKIP UNS, Deaf Voluntering Organization (DVO), dan pengurus GERKATIN cabang Solo yang senantiasa andil memberikan sumbangan tenaga maupun pikirannya. Dengan penggemblengan yang tidak mudah, proses yang begitu lama terbayar dengan hasil yang luar biasa. seluruh anggota penyandang disabilitas tersebut dapat keluar dari belenggu ketidakmampuannya. Mereka berekspresi dengan begitu yakin, semangat, dan percaya diri. Decak kagum dari berbagai pihak terutama aktifis teater begitu mengapresiasi penampilan kelompok teater yang spesial ini.
            Wadah kreativitas yang sangat positif, menstimulan para pemuda ini untuk bangkit, semangat, serta dapat menjadikannya lebih berhasrat dalam menjalani kehidupan. Salah satu titik terang dimana eksistensi mereka penyandang difabel, khususnya para Tuna Rungu di Solo mulai melebar. Sayap yang sejak dulu terlipat kini mulai membentang membuka hendak mengepak menerjang angkasa. Momentum sumpah pemuda kini dapat mereka isi dengan ekspresi – ekspresi polos inspriratif yang selalu menggugah hati setiap penontonnya.

Sepak Terjang
Proses latihan yang dilakukan secara berkala dari pertama kali terbentuk termasuk bersama teman – teman kelompok Teater Peron UNS, telah menelurkan 3 kali pementasan. Pementasan tersebut pertama digelar bersama sutradara pelopor kelompok GERKATIN, pertunjukan Of Sign Theatre oleh komunitas mahasiswa Fakultas Psikologi UNS berjudul Sudo Ora Sudo di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo pada 4 April 2013,  serta menjadi bintang tamu dalam kegiatan Festival Sandiwara Realis Pelajar (FSRP) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teater ISI Surakarta (HIMATIS) pada 3 November 2013 dengan sajian yang berjudul “Dongempi” atau akronim dari Dongeng Negeri Mimpi sebagai penutup acara.
Dua sajian terakhir tidak lepas dari kerja keras Sandhi Wardhana sebagai seorang sutradara yang telah memoles para anggotanya menjadi pemain sandiwara dengan ekspresi yang sempurna. Kesabaran, semangat, dan tujuan besar membuat semua tim yang mendukung seolah melaminasi kelompok penyandang disabilitas ini. Peran para anggota DVO dalam memandu dan mendampingi terutama kaitannya dengan komunikasi, sangat membantu menjembatani kelancaran dalam proses latihan maupun saat eksekusi pertunjukan. Para Tuna Rungu pada akhirnya dapat mengeksplorasi kemampuannya untuk dinikmati khalayak.
Tiga bulan berproses dalam “Kawah Candradimuka” memang bukan suatu yang gampang. Dikatakan demikian karena proses yang berkala tersebut dilakukan untuk satu karya sajian. Hal di atas dapat kita tafsir bahwa kesulitan baik para pemain maupun sutradara dan segenap crew-nya. Terutama dalam hal sinkronisasi dari maksud sutradara dengan implementasi yang dihasilkan oleh setiap anggota teater GERKATIN. Adit (23) seorang anggota DVO asal Bantul mengemukakan pengalamannya ketika mendampingi, salah tangkap terhadap maksud si sutradara seolah menjadi makanan pokok dalam setiap proses latihan mereka. Namun kerja keras dan keyakinan kuat dari seluruh teman – teman difabel serta pendukungnya, sehingga satu demi satu karya dapat diselesaikan dengan cukup baik. Akhirnya tiga pentas terakhir berbuah apresiasi dan tepukan tangan meriah tanda kepuasan dari para penontonnya. Artikel – artikel baik media masa maupun elektronik pada akhirnya seperti mendifusikan informasi keberadaan kelompok “sandiwara ekspresi” tersebut di masyarakat.

 Ekspresi Jadi Kunci
Aksi pemain teater GERKATIN Solo yang memukau di atas panggung memang titik tekannya ialah dalam penyampaian nonverbal dilakukan dengan cara maksimal. Pada konteks ini peran sutradara memberi komando layaknya dirigen yang menentukan mobilitas dan tugas dari masing – masing pemain pada setiap babak jalannya sajian. Dalam penyajiannya, memang hadir musik untuk mengiringi pertunjukan. Namun, sebenarnya musik berperan mengisi suasana dalam perspektif yang hanya dirasakan oleh penonton ataupun apresiator. Memang saat jalannya pertunjukan seoloah – olah mereka mengikuti dan merasakan musik. terjadi pemandangan “semu” karena sebenarnya musik yang mengikuti setiap gerakan dalam babak sajian. Tidak seperti pertunjukan teater pada umunya, karena semua elemen penyaji yang saling berhubungan. Pada teater anak difabel, musik mendukung sajian para pemain untuk memperindah pertunjukan terhadap penonton, sedangkan para pemain teater hanya memproyeksikan ekspresi kepada penonton tanpa memperdulikan sajian musik. Memang hal logis, saat Tuna Rungu memang mempunyai permasalahan dengan pendengarannya.
Keluar dari permasalahan kekurangan dalam fisik, mereka memiliki satu “ajian” memukau yang dilakukan oleh seperangkat tubuh, energi, gerak total, dan yang paling tampak sekaligus vital ialah ekspresi total mereka. Runtutan komando yang dikirim oleh sutradara diimplementasikan oleh masing – masing para difabel dengan kemampuannya yang bisa dikatakan telah mencapai virtuositas pemeranan yang dapat disejajarkan bahkan tidak menutup kemungkinan lebih dengan para pemain teater yang notabene memiliki fisik normal. Ekspresi seperti menjadi taring dalam mengoyak decak kagum penonton, menjadi senjata pembunuh caci makian dari orang – orang yang tak mampu mendalami arti anugerah. Kini mereka yang secara fisik “kurang” menjawab setiap pertanyaan yang berhubungan dengan eksistensi mereka. Para difabel Tuna Rungu Solo menjadi lebih percaya diri pasca pembuktiannya lewat sajian – sajian ekspresi penuh nilai, baik tekstual maupun konteks. Dari fenomena di atas masyarakat serta pemerintah dapat menilai dan mengambil “buah” perenungan untuk dapat lebih memberikan solusi serta ide mutakhir lain dalam menambah wadah yang menampung kreativitas, untuk mencetak para penyandang disabilitas yang berprestasi untuk bangsa. Salah satu titik yang telah dibuktikan oleh teater Gerkatin Solo yaitu kekuatan ekspresi menuju sebuah totalitas dalam berkarya seni.

Denis Setiaji
Mahasiswa Etnomusikologi

ISI Surakarta

Suara Politik Lingkungan Berisik

Suara  Politik, Lingkungan Berisik

Euphoria
            Terlihat belasan motor, tidak bahkan puluhan motor seolah merajai setiap jalan yang mereka lewati. Grrongg grooongg grongg gronggg, permainan pola interlocking atau “imbal – imbalan” dari suara knalpot menghantam setiap pendengaran yang dilewatinya. Asap mengapung menyempurnakan efek rumah kaca di sekitarnya. Bendera berlabelkan partai politik dikibaskan dengan penuh ambisi oleh mereka para pengendara penggedor semangat kampanye politik tahun ini.
Gleyer sana gleyer sini begitulah suasana kota Solo pada hari pertama masa kampanye pra pesta demokrasi yang perhelatannya pada 9 April mendatang. Pemandangan yang kerap disuguhkan oleh para “gleyerian” ini mungkin akan sering dijumpai selama masa kampanye. Suara knalpot yang meraung di jalan – jalan protokol menjadi suatu tanda dimulainya persaingan berbagai partai politik terutama agen rahasianya yang biasa kita sebut “tim sukses”. Lebih dari satu Partai dalam sehari melancarkan strategi politiknya untuk meraup pundi – pundi suara. Para tim sukses nampak tidak ingin menyiakan masa menebar benih aspirasi dengan memaksimalkan kegiatan kampanye. Konvoi sepeda motor menghiasi jalanan kota Solo yang begitu terik di siang hari. Atraksi gleyer pastinya tidak ketinggalan dan sepertinya memang menjadi senjata yang efektif dalam menarik perhatian masyarakat.

Kontradiksi
Media suara knalpot yang lazim digunakan suporter PERSIS Solo untuk menyemarakan pertandingan di Stadion Manahan, kini begitu fungsional serta keberadaanannya yang menimbulkan celah kontradiksi. Frekuensi suara knalpot yang dimodifikasi memiliki daya rambat suara yang cukup luas, sehingga dapat menjangkau perhatian masyarakat pada radius tertentu. Menguntungkan bagi para tim sukses dalam usaha mengeluarkan “taring” politik. Atmosfer Pemilihan Umum pun menjadi lebih “semarak”. Beberapa kelompok sepeda motor dengan permainan tarikan gasnya tersebar di berbagai titik belahan Kota Surakarta Hadiningrat. Suasana siang dengan terik yang menyengat kulit, begitu sempurna dengan teriakan knalpot yang terdengar dari sekumpulan motor yang lewat silih berganti. Namun, perlu diingat kembali semakin banyak praktisi gleyer di jalanan yang ikut menyemarakan kampanye, semakin berkurang pula pengguna knalpot standar. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan cita – cita para aparat lalu lintas dalam memperjuangkan ketertiban di jalan raya.
Kebisingan yang ditimbulkan gerombolan gleyer di jalanan sudah barang tentu menjadi polusi suara. Emisi gas yang ditimbulkan sedikit banyaknya menimbulkan ekses terhadap kondisi lingkungan. Aparat pemerintah dalam hal ini pihak Kementrian Lingkungan Hidup yang bekerja sama dengan menteri yang membawahi bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), telah membuat aturan mengenai penggunaan knalpot standar, yang muaranya menjadikan kebisingan dan emisi gas buang berlebih sebagai sebuah pelanggaran. Hal tersebut diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 48 Ayat 3 tentang ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor. Sanksi bagi pelanggarnya akan dijerat Pasal 285 Ayat 1 UULAJ. Namun, aturan di atas sepertinya menjadi pengecualian dalam waktu – waktu tertentu, salah satunya masa perebutan aspirasi para Partai Politik seperti sekarang ini.



Ironi pengharapan
Sehari sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah melaksanakan Deklarasi Kampanye Berintegritas dengan tema Suara untuk Indonesia di Lapangan Monas, Sabtu (15/3). Acara yang digelar serentak seluruh Indonesia ini sekaligus menandai dibukanya kampanye rapat umum Pemilu 2014, yang dijadwalkan pada 16 Maret hingga 5 April 2014. Kampanye dengan wacana “integrasi” di dalamnya, seperti menjadi suatu keharusan. Integrasi yang menjadi cita – cita KPU melalui suara rakyat, pesta demokrasi yang diawali dengan mutu sehingga memiliki potensi dan kemampuan, memancarkan kewibawaan serta menjunjung tinggi kejujuran adalah do’a yang harus diraih dengan kerja keras bersama. Masyarakat memang berharap Pemilu tahun ini bisa lebih berkualitas sehingga mencetak kader – kader yang mumpuni dalam memimpin negeri dan sarat akan integritas sebagaimana diwacanakan oleh KPU.
Namun, apakah kampanye dengan bermodal polusi dan ber-“produk” ekses merupakan salah satu bentuk dari kampanye berintegritas? Mungkin para pimpinan dan pemikir di atas dapat menjawab pertanyaan tersebut bahkan bisa saja hanya dianggap sebagai pertanyaan retoris. Kampanye dengan merusak lingkungan, mengganggu ketertiban, menonaktifkan aturan secara sementara begitu terlihat dengan antusias yang tinggi. Inilah cara masyarakat kita dalam berpesta demokrasi. Sing penting gayeng, sing penting rame, konsep yang tidak dilandasi dengan adanya proses dialektika sehingga untuk satu kepentingan kadang tidak terasa telah menerobos nilai – nilai lain yang mestinya tetap harus diindahkan.

Pergeseran pikir
Bising yang dimaknai polusi kini menjadi media penyuara politik pada masa kampanye. Asap knalpot yang membuat suhu lingkungan semakin naik berbanding lurus dengan suasana panasnya persaingan di antara Partai Politik. Bunyi keras yang memecah keramaian bahkan dapat mengganggu pendengaran dipandang cocok untuk dijadikan sebagai sarana menyampaikan aspirasi. Kini suara noise menjadi wacana politik yang tidak bisa lepas adanya oleh para Juru Kampanye (JURKAM). Polusi suara yang mengganggu pendengaran dan ketertiban serta gas emisi knalpot yang merusak lingkungan seakan diberi kesempatan untuk selalu hadir pada masa kampanye. Tidak ada yang menegur, mungkin karena ini momen pesta demokrasi dan menjadikan keberadaan terebut sebagai pengecualian.

Esensi dan pemikiran mutakhir dalam menjawab persoalan negeri mungkin yang menjadi fokus para “pabrik” pencetak pemimpin di negeri ini. Namun tidak dapat dilupakan bahwa dalam berpolitik apapun kita tidak terlepas dari adanya dimensi ruang yang tetap harus dijaga eksistensinya. Hal kecil sepertinya, akan tetapi dari persoalan kecil pembenahan bangsa ini seharusnya dimulai. Seperti problematika rakyat kecil yang tak kunjung terselesaikan.

Rabu, 27 Februari 2013

Joged Bumbung di Bali


Pendidikan Seksual pada Joged Bumbung
            Bali merupakan wilayah dengan pemeluk agama Hindu terbesar di Indonesia. Agama Hindu identik dengan berbagai macam ritual. Lazimnya berbagai ritual maupun kegiatan lainnya yang non ritual tidak lepas dengan kesenian, khususnya seni pertunjukan. Berbagai upacara dalam kegiatan yang dilakukan untuk ritual dalam Panca Yatnya ataupun media mencapai Tri Hita Karana (tiga jalan mencari kedamaian). Kegiatan pertunjukan di Bali diantaranya, musik (gamelan Bali), Tari, Wayang, Teatrikal dan sebagainya.  Kesenian khususnya seni pertunjukan berperan penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
            Bali dikenal memiliki berbagai macam seni pertunjukan, khususnya tari seperti, Tari Gambuh, Barong, Rangda, Sanghyang, Janger,   Joged, kecak (cak) dan sebagainya. Jenis tari tersebut ada yang bersifat sakral sebagai ritual, seperti untuk persembahan untuk sanghyang widi wasa adapula yang hanya bersifat hiburan atau sebagai pariwisata. Tentunya tari-tari Bali merupakan objek yang menarik perhatian turis, baik domestik maupun mancanegara.
      Salah satu tarian yang menarik bagi masyarakat maupun pengunjung Bali ialah Tari Bumbung atau lebih familiar dengan sebutan Joget Bumbung. Joged Bumbung merupakan tari pergaulan yang sangat populer di Bali. Joged Bumbung diiringi oleh Gerantang berlaras slendro. Gerantang ini asal mulanya dari Bumbung Gebyog yang sekarang masih ada di daerah Kabupaten Tabanan dan Jembrana. Gamelan Bumbung tersebut digunakan untuk mengiringi si penari Ngibing baik sendiri maupun berpasangan dengan penonton. Joged Bumbung merupakan hiburan yang cukup semarak dan meriah bagi masyarakat Bali.
Tari ini memiliki pola gerak yang agak bebas, lincah, dan dinamis, yang diambil dari Legong maupun Kekebyaran dan dibawakan secara improvisatif. Si penari melakukan gerakan-gerakan atraktif yang menarik penonton. Tidak hanya lincah dan dinamis, unsur bebas dalam gerakan Joged Bumbung cukup menarik. Gerakan-gerakan goyang seperti dalam musik dangdut koplo yang berkesan “vulgar” dan menantang hasrat para kaum lelaki disajiakan secara terbuka bagi siapapun.
Joged Bumbung tersebut ditonton oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, sampai dewasa. Adegan-adegan yang termasuk “panas” dilakukan penari dengan pasangannya tersebut tentunya juga dilihat oleh anak-anak dan para remaja. Hal tersebut mungkin dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan kedewasaan si penonton muda. Gerakan bergoyang dengan saling berhadapan secara dekat, serta sesekali melakukan adegan memeluk, dan gerakan lainnya yang berbau seksualitas, tentunya tidak menutup kemungkinan  membuat penonton khususnya remaja dan anak-anak mendapat pengetahuan seksual dari sajian Joged tersebut.
Melakukan aktivitas menonton Joged Bumbung secara continue oleh anak-anak dan   remaja dapat mempengaruhi psikis mereka terutama menambah pengalaman dalam fikiran mereka hal-hal yang bersifat dewasa. Hal ini mungkin saja merupakan salah satu media pendidikan seksual yang dilakukan masyarakat Bali kepada anak-anak dan remaja melalui media kesenian. Namun, statement diatas masih merupakan asumsi dasar yang akan dibuktikan kebenarannya oleh penulis.
·         Joged Bumbung dan Masyarakat Bali
Joged Bumbung[1] adalah semacam tari pergaulan muda-mudi, diiringi dengan gamelan yang terbuat dari bumbung kayu . penari Joged tersebut pada awal penampilannya menari sendiri yang disebut ngalembur. Setelah bagian tarian tersebut dilakukan, si penari mencari seorang pasangannya seorang laki-laki. Salah seoarang penonton laki-laki dihampiri oleh si penari, dan laki-laki itu kemudian diajaknya menari bersama-sama atau ngibing. Si penari berganti-ganti pasangan yang dia ambil dari penonton yang dipilihnya, terus- menerus seperti itu sampai batas waktu pentas yang di sepakat. Bahkan dewasa ini pagelaran Joged Bumbung dikomersilkan dengan sistem “kupon”, jadi yang ingin mendapat giliran menari harus mengantri sesuai urutan kupon yang telah dibeli.
Joged Bumbung ini biasa digelar pada acara-acara pernikahan,  perayaan hari besar Hindu, hari besar Nasional, nyambut gawe, di tempat-tempat pariwisata dan sebagainya. Tari Joged Bumbung ini sangatlah populer di masyarakat Bali, bisa dikatakan Joged Bumbung merupakan tarian yang merakyat, semua golongan bisa menonton pertunjukan tersebut tanpa memandang kedudukan atau status sosial. Ketika di wilayah Pura pun Joged Bumbung di pertunjukan di Jaba, dimana semua kegiatan bisa dilakukan di tempat tersebut. Tentunya orang-orang dari kalangan apapun dapat beraktifitas disana, termasuk  remaja dan anak-anak pun dengan bebas dapat menonton pertunjukan di Jaba[2] khususnya pertunjukan Joged Bumbung.
Joged Bumbung begitu melekat pada masyarakat Bali karena memiliki aspek hiburan yang sangat tinggi. Antusiasme masyarakat terhadap kesenian ini sangatlah besar khususnya para remaja yang sedang masuk masa pubertas. Masyarakat berbondong-bondong jika ada suatu pertunjukan Joged Bumbung di sekitar tempat tinggal mereka. Oleh karena itu pagelaran Joged Bumbung tidak pernah sepi dengan penonton. hampir semua orang di Bali pernah ikut memeriahkan perhelatan Joged Bumbung tersebut.

·         Gerak Paibing Ibing Joged Bumbung
Gamelan Grantang berlaras slendro dan kendang Bali yang di mainkan oleh para penabuh memiliki peran penting dalam membangun agresifitas serta menstimulan gerakan-gerakan atraktif dan “menantang” dari si penari. Penari memakai pakaian khas untuk Joged Bumbung, hiasan (ikat) kepala, kipas yang di pegang tangan, pakaian tari bali dengan bawahan seperti rok dengan tujuan untuk memudahkan si penari memamerkan bagian tubuh yang dapat menarik perhatian, serta semacam kain putih panjang yang di berikan kepada penonton sebelum ngibing.
Pertama penari ngibing tanpa pasangan, melakukan gerakan-gerakan erotis, bergoyang “ngebor”[3], menaik-naikan rok memampangkan paha bahkan bergoyang sampai pakaian dalam bagian bawah si penari terlihat. Setelah beberapa waktu penari berjoged sendiri, kemudian ia mengajak salah seorang penonton laki-laki dengan memakaikan kain putih di pinggang penonton yang di pilih.  Musik Bumbung terus dimainkan, penari dan pasangannya mulai melakukan gerakan paibing ibing.
Gerakan paibing ibing  yang dilakukan pasangan tersebut selalu dilakukan dengan bermesaraan. Setiap penonton yang ditarik untuk ngibing pasti mendapatkan perlakuan yang dianggap “panas” oleh si penari. Adegan-adegan “panas” tersebut seperti memeluk sambil melakukan gerakan suami istri (senggama) walaupun dilakukan sambil berdiri, si penonton yang lepas kontrol biasanya mencium penarinya, kadang pula pasangan ngibing saling mencolek bagian vital satu sama lain, bahkan ada pula penonton yang terlentang kemudian si penari bergoyang di atasnya. Itulah Joged Bumbung ketika adegan erotis berlangsung penonton bersorak-sorai dan tertawa terhibur dengan hal tersebut, mungkin juga para penonton laki-laki baik dewasa atau remaja perasaannya bergejolak ketika adegan tersebut mereka lihat. Paibing Ibing adalah bagian yang paling menarik, karena dari sini muncul asumsi pendidikan seksual untuk para penonton muda dari perhelatan Joged Bumbung.
·         Joged Bumbung dan Pendidikan Seksual Kaum Muda
Menurut Salzman dalam (Yusuf, 2005:184) menyatakan bahwa :
Remaja merupakan perkembangan sikap tergantung (depedent) terhadap orangtua kearah kemandirian (independent), minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika serta isu-isu moral.
Hal diatas memperkuat asumsi penonton remaja di Bali mendapatkan pengetahuan-pengetahuan seksual dari sajian Joged Bumbung, karena usia remaja mereka mulai memperhatikan dan mengarah terhadap minat-minat seksual. Sajian Joged Bumbung yang secara gamblang menampilkan adegan-adegan dewasa, tentunya akan tersimpan dalam setiap memori remaja yang melihatnya. Mereka menyerap, mengolah, dan masing-masing berbeda cara mensikapinya.

Kaum muda identik dengan proses pencarian jati diri. Mereka mencoba mengejawantahkan identitas guna menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dalam perjalanannya, mereka cenderung mencari panduan maupun panutan. Tari merupakan salahsatu yang berperan sebagai media sekaligus produk seni yang paling digemari anak muda. Ini dikarenakan kemasannya yang tidak memaksa, justru sangat persuasif. Menurut Coleman (2004), musik (kesenian dalam hal ini juga menyangkut tari) mempunyai pengaruh lebih kuat dibanding media massa lain. Ia mampu memenuhi tuntutan kaum muda dalam mengeksplorasi teks melalui lirik, audio melalui instrumen, serta visual melalui aksi para penyaji.  Ia menjadi bagian dari bagaimana anak muda mendeskripsikan dirinya. Tentang siapa dia, apa musik kesukaannya. Menurut Storey (2006, 129), mengonsumsi musik menjadi sebuah cara mengada (way of being) di dunia. Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya kaum muda menilai dan dinilai oleh orang lain.  (Amnestirmata.blogspot.com)

Adanya tahap penerimaan pesan  oleh penggemar/penonton biasanya dilanjutkan dengan proses imitasi. Imitasi atau meniru adalah suatu proses  melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan role model. Menurut Teori Peniruan Bandura, tokoh yang menjadi panutan dan menarik seseorang untuk melakukan imitasi terhadapnya adalah seseorang yang disukai oleh pelaku imitasi. Proses imitasi inilah yang membuat muatan seksualitas dalam tari tidak berhenti pada saat pelaku tari menyatakannya di depan khalayak. Ia kemudian diterima dan diaplikasikan oleh penggemar. Beberapa yang kritis melakukan filterisasi atasnya. Sebagian lainnya menerima sekaligus mengaplikasikannya secara keseluruhan.
(amestimarta.blogspot.com)

Seksualitas merupakan bahasan yang perlu dikaji ulang dalam cakupan lebih luas. Hal tersebut berusaha dikomunikasikan oleh tari, terutama melalui attitude-nya. Pengiriman pesan termuat seksualitas oleh pelaku tari terhadap penonton atau penggemar, yang keduanya merupakan bagian dari kaum muda, seharusnya disikapi tidak semata-mata sebagai perusak moral generasi. Lebih dalam, ia mampu dijadikan reflektor tentang sejauh mana seksualitas muncul dalam budaya kaum muda. Bagaimana kaum muda memaknai seksualitas yang kemudian membentuk perilaku seksual mereka. Dengan adanya pengkajian terhadap seksualitas dalam budaya kaum muda yang direpresentasikan dan  diproduksi ulang oleh musik, seharusnya pembuat kebijakan dapat melihat bahwa akses atas informasi terkait seksualitas yang edukatif perlu diangkat ke ranah pendidikan sehingga dampak negatif dari pesan bermuatan seksualitas yang salah kaprah dapat diminimalisasi. Adanya seksualitas dalam musik juga memberikan pengakuan tersendiri atas  keberadaan kaum minoritas seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender)sebagai bagian dari keberagaman masyarakat.
            Joged Bumbung merupakan tradisi masyarakat Bali yang perlu di lestarikan. Kaitan dengan essensi apa yang ada di balik Joged Bumbung perlu ada penelitian lebih lanjut. Penulis berharap kritikan dan saran dari berbagai pihak terutama dosen pengampu mata kuliah Budaya Musik Nusantara, karena tulisan ini masih banyak sekali kekurangan. Harapan penulis, tugas ini merupakan batu loncatan untuk meningkatkan skill menulis sebagai kompetensi utama di bidang Etnomusikologi.


[1] Tari Joged Bumbung ini ada persamaannya dengan Tari Gandrung, hanya saja Tari Gandrung pada zaman dahulu di tarikan laki-laki. (Djaus BA,1979: 55)
[2] Bagian paling luar dari Pura, Pura dibagi kedalam 3 bagian yaitu Jeroan, Jaba Tengah, dan Jaba dalam. (matakuliah Budaya Musik Nusantara semester III)
[3] Istilah goyang yang di lakukan oleh arti dangdut Inul Daratista.

Sabtu, 29 September 2012

REFERENSI ETNOMUSIKOLOGI


Pigeaud, Th..  Javaanse Volksvertoningen, Bijdrage tot De Beschrijving van Land en Volk. Batavia: Volkslectuur, 1939.  
Wade, Bonnie C. Thinking Musically: Experiencing Music, Expresing Culture. New York and Oxford: Oxford University. 2004
Clayton, Martin et all.(ed.). The Cultural Study of Music: a Critical Introduction. New York and London: Routledge
Kunst, Jaap. Music in Java. Its History, Its Theory and Its Technique. (2 vols.), The Hague: Nijhof, 1949.

Kunst, JaapHindu-Javanese Musical Instruments. The Hague: Nijhof. 1968.
Blacking, John. How Musical is Man?. Seattle: University of Washington Press. 1997.
Kartomi, Margaret J. On Concepts and Classifications of Musical Instruments. Chicago: University of Chicago Press. 1990. 
Wolbers, Paul Arthur. Account of an Angklung Caruk  July 28, 1985.
Wolbers, Paul  Arthur. "Gandrung and Angklung from Banyuwangi: Remnants of a Past Shared with Bali," Asian Music 18, 1 (Fall/Winter 1986): 71-90.
Sasaki, Mariko. Laras Pada karawitan Sunda. Bandung: P4ST UPI.
Pemberton, John. “Musical Politics in Central Java (or how not to Listen to Javanese Gamelan,” dalam Indonesia 44. 1987.
------------------- Jawa”, on the Subject of Java. Terj. Revianto Budi Santoso. Yogyakarta: Matabangsa, 2003.
Putra, Heddy Shri Ahimsa.  “Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan Post-Modernistis”,  dalam Ketika Orang Jawa Nyeni, ed. Heddy Shri Ahimsa Putra. Yogyakarta: Galang Press, 2000.
Suanda, Endo. “The Social Context of Cirebonese Performing Artists,” Asian Music 13 (1). 1981.
Supanggah, Rahayu. Bothekan Karawitan Surakarta: ISI Press Surakarta.
Sutton, R. Anderson. “Who Is the Pesindhèn? Notes on the Female Singing Tradition in Java,” Indonesia 37. 1984.
----------------------- “Variation and Composition in Java”, Yearbook for Traditional Music 19. 1987. hlm. 65-95.
----------------------- “Semang and Seblang: thought on music, dance, and the sacred in Central and East Java.” dalam Bernard Arps (ed.), Performance in Java and Bali: Studies of Narrative, Theatre, Music, and Dance. London: University of London, 1993.
------------------------   “Individual Variation in Javanese Gamelan Performance”,   The Journal of Musicology 6(2). 1988. hlm.169-197.
------------------------- “Interpreting Electronic Sound Technology in the Contemporary Javanese Soundscape,” dalam  Ethnomusicology, Vol. 40(2), 1996. hlm. 249-268.
------------------------------, “Discover Indonesia: Selections from the 20-CD series by Philip Yampolsky,”  Asian Music 33, No 1(Autum 2001-Winter 2002), hlm. 141-143.

Minggu, 09 September 2012


SANGHYANG TIKORO: DANAU PURBA BANDUNG JEBOL DAN LEGENDA SANGKURIANG

  
Oleh:
Denis Setiaji
Etnomusikologi

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2012


Sanghyang Tikoro merupakan salah satu tempat yang berunsur cerita foklor di Bandung Jawa Barat yang menyimpan banyak misteri dan pertanyaan di masyarakat. Gua purba Sanghyang Tikoro masih belum banyak diketahui masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat Jawa Barat pun banyak yang belum mengenal cerita mengenai Sanghyang Tikoro. Oleh karena itu penelitian emik sebagai langkah awal penulis dalam mempelajari foklor khususnya pada cerita Sanghyang Tikoro perlu diangkat untuk menambah pengetahuan kita akan foklor nusantara yang banyak dan beragam. Selain itu penulis juga ingin mengetahui secara emik, artinya bagaimana cara pandang masyarakat terhadap cerita atau mitos yang berkaitan dengan Sanghyang Tikoro.
Adapun cara mendapatkan data dari penelitian emik, menggunakan metode observasi dan wawancara terhadap narasumber dilapangan sebagai landasan dasar bahan analisis untuk kemudian dikembangkan dalam bentuk tulisan. Narasumber dimintai keterangan mengenai apa yang mereka fikir dan mereka pandang dari adanya fenomena Sanghyang Tikoro. Selain itu, penulis juga mengutip informasi tambahan media internet yang dinilai dapat melengkapi serta memberi bobot lebih terhadap tulisan ini.

Sangkuriang dan Sanghyang Tikoro
Sanghyang Tikoro merupakan legenda masyarakat pajajaran berkaitan dengan asal mula terbentuknya Bandung raya. Sanghyang Tikoro adalah sebuah lubang atau gua tempat mengalirnya air menuju sungai citarum. Lubang tersebut dalam legenda masyarakat dipercaya sebagai tempat jebolnya danau Bandung purba. Danau Bandung purba yang sebelumnya penuh dengan air menjadi surut kemudian terbentuklah Bandung.
Kata Sanghyang Tikoro dalam bahasa pewayangan sunda, sanghyang artinya dewa sedangkan tikoro artinya kerongkongan. Bila diarti katakan Sanghyang Tikoro adalah dewa kerongkongan. Belum ada alasan pasti kenapa masyarakat menamai lobang aliran air dekat danau saguling tersebut dinamai Sanghyang Tikoro.
Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem dan berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut, ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan atau Pangeran Bujangga Manik alias Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Pulau Bali pada akhir abad ke-15. Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba ditempat yang sekarang menjadi Kota Bandung. Dia boleh disebut sebagai saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini bersama legendanya (udugudug.wordpress.com).
Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung . Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat dan legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:
Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
Datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)
(wikipedia, 27 Juni 2012, pkl 21.35)

Di masyarakat, Sanghyang Tikoro sering dikaitkan dengan legenda Sangkuriang-dayang sumbi. Cerita Sangkuriang merupakan legenda sasakala terbentuknya gunung tangkuban perahu, gunung burangrang, gunung manglayang, dan Sanghyang Tikoro. Tempat-tempat tersebut terbentuk akibat murkanya Sangkuriang karena tidak dapat menyelesaikan bendungan serta perahu besar dalam waktu satu malam sebagai syarat untuk menikahi dayang sumbi atau ibunya sendiri.
Cerita Sangkuriang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Sangkuriang merupakan ksatria sakti mandraguna yang mencintai dan ingin menikahi ibunya sendiri yaitu dayang sumbi. Namun dayang sumbi tau bahwa hal seperti itu tidak boleh dilakukan maka untuk menggagalkan pernikahan tersebut dia memberikan beberapa syarat berat. Sangkuriang harus membuat bendungan dan sampan besar yang harus diselesaikan dalam waktu semalam. Karena Sangkuriang sangat sakti tentunya syarat tersebut dia sanggupi. Sangkuriang dibantu para jin dan mahkluk halus lainnya mengerjakan syarat tersebut. Dayang sumbi pun menjadi cemas dan takut Sangkuriang dapat menyelesaikan syarat yang diberikannya. Dayang sumbi pun berdoa kepada sanghyang widi agar Sangkuriang digagalkan.  Akhirnya Sangkuriangpun gagal dalam mengerjakan syaratnya.
Ketika fajar menyingsing di ufuk timur, Sangkuriang menjadi gusar dan di puncak kemurkaannya bendungan yang ada di Sanghyang Tikoro di jebolnya, sumbat aliran sungai citarum yang di buatnya dilemparkan ke arah timur menjadi gunung manglayang, ranting-ranting yang digunakan untuk membuat bendungan dilemparkan ke utara menjadi gunung burangrang, perahu yang dikerjakannya dengan bersusah payah semalaman dia tendang ke arah utara sehingga terbentuklah gunung tangkuban perahu.
Dilihat dari cerita Sangkuriang, Sanghyang Tikoro adalah akibat dari murkanya Sangkuriang sehingga danau Bandung purba jebol dan surut menjadi daratan. Konon tempat-tempat diatas sering digunakan orang-orang tertentu untuk menimba “ilmu” tertentu. Seperti halnya Sanghyang Tikoro yang terletak antara kecamatan Rajamandalala dan kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Sangyang tikoro berada disamping PLTA Saguling sekitar 17km dari pusat bendungan dan berada diwilayah turbin terakhir. Memang tempatnya agak tersembunyi sehingga jarang banyak orang yang mengetahui langsung bagaimana bentuk Sanghyang Tikoro. Karena dianggap keramat tidak satupun tangan orang jahil yang berani merusaknya.

Pandangan dari Masyarakat Sekitar
Menurut beberapa narasumber yang berdomisili di sekitar wilayah Rajamandalala, mereka memiliki pendapat yang beragam. Ada yang berpendapat menuju titik dari benang merah cerita masyarakat pada umumnya adapula yang tidak percaya mengenai legenda Sanghyang Tikoro serta mitos-mitos yang berkembang disekitarnya. Narasumber ada yang mengemukakan mengenai larangan-larangan terhadap Sanghyang Tikoro, kemudian mengenai orang-orang sakti yang kehidupannya sempat berkaitan dengan keberadaan Sanghyang Tikoro dan ada pula yang berpendapat mengenai asal-mula Sanghyang Tikoro berdasarkan cerita rakyat namun sebenarnya tidak begitu percaya dengan mitos tersebut.
Narasumber pertama dalam interview yaitu Dasman (40 tahun) menyebutkan,
                 “ Sanghyang Tikoro mah tikapungkur oge tos aya, malihan waktos Bandung masih cai hungkul oge tos aya nanging tacan  ageung. Lami-lami mereun da teras weh ka gorogotan ku cai nga ageungan, janten weh saalit-saalit Bandung nu pinuh cai teh nyaatan. Perkawis Sanghyang Tikoro teh aya hubunganna sareng carita Sangkuriang wallahualam eta mah namina oge dongeng. Ari abdi mah teu patos percanten kanu kitu. Cenah ceuk beja didinya teh ulah sagawayah atanapi kumaha, intinamah eta teh salah sawios kaendahan tigusti nu ku urang salaku manusa kedah dijaga, dirawat, supaya kaendahana tetep ka jagi. Enyage ayeuna tos rada karuksak ku aliran cai limbah ti pabrik-pabrik palebah hulu Citarum”



Dalam bahasa Indonesia artinya,“Sanghyang Tikoro telah ada sejak dulu, bahkan ketika Bandung masih air semua telah ada tetapi masih kecil (lubang Sanghyang Tikoro). Lama-kelamaan sepertinya terus terkikis oleh air, kemudian membesar. Jadi sedikit demi sedikit Bandung yang penuh dengan air menjadi surut. Kaitan Sanghyang Tikoro dengan cerita Sangkuriang itu wallahualam namanya juga dongeng. Saya sendiri tidak terlalu percaya hal tersebut. Kata orang ditempat itu tidak boleh “sembarangan”(dalam berprilaku, berucap dsb). intinya itu(Sanghyang Tikoro) merupakan salah satu keindahan yang dari tuhan yang oleh kita sebagai manusia harus dijaga, dirawat, supaya keindahannya tetap terjaga. Walaupun sekarang sudah sedikit tercemari oleh aliran air limbah pabrik-pabrik dari arah hulu Citarum”.
Narasumber pertama mengutarakan bahwa lubang gua purba Sanghyang Tikoro memang telah ada sejak lama namun masih kecil. Memang belum jelas pula waktu tepatnya, karena ia juga hanya mendapat informasi secara turun-temurun menurut rumor yang ada di masyarakat. Sebelum menjadi gua purba, Sanghyang Tikoro memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, ia percaya bahwa lobang tersebut terjadi karena terkikis oleh air kemudian membesar. Disini juga masih kurang ada kejelasan mengenai air yang mengikis tersebut berasal. Memang secara logika pernyataan tersebut masuk akal, karena air dapat mengikis tanah bahkan jenis batuan. Namun dalam pernyataan selanjutnya ia menganggap bahwa Sanghyang Tikoro dengan cerita Sangkuriang tersebut diragukan ke benarannya, karena hanya sebuah cerita rakyat sunda yang mengalir di seluruh palung hati masyarakat Bandung pada umumnya. Ia juga menyebut bahwa di Sanghyang Tikoro menurut mitos yang berkembang disekitar, orang yang mendatangi kawasan tersebut, tidak boleh sembarangan dalam berprilaku, berkata-kata, dan sebagainya yang dianggap dapat membahayakan keselamatan jiwa dari orang yang bersangkutan. Dalam hal ini yang membahayakan adalah mahkluk-mahkluk lain (ghaib) penjaga atau yang mendiami disekitar Sanghyang Tikoro.  Diakhir dia berpesan bahwa yang harus diutamakan adalah tugas manusia untuk menjaga keindahan alam anugerah sang kuasa.
Narasumber kedua adalah Tatang Supriyatna seorang pegawai perkebunan di PTPN gunung halu, tetapi berdomisili di Rajamandalala. Ia berpendapat mengenai Sanghyang Tikoro dibawah ini:

                 “ilaharna di Sanghyang Tikoro, daerah Sanghyang Tikoro mah teu kengeng sangeunahna dina ucapan, sikep, margi seueur istilahna anu jail ka jelema anu henteu ngajaga ka dirina. Seueur oge pami dinten anu di anggep sakral aya nu tarapa, boh nu hoyong kengeng elmu, jeung sajabana da bapa ge teu patos terang. Pami kalebetan nyere atanapi bulu, buuk cenah mah sok aya sora ngajerit di jero Sanghyang Tikoro teh. Tapi da bapa oge salami linggih didieu tacan pernah ngadangu sora kitu”.


Arti dalam bahasa Indonesia adalah,”Biasanya di Sanghyang Tikoro, daerah Sanghyang Tikoro itu tidak boleh sembarangan dalam ucapan, sikap, karena banyak istilahnya yang jail pada orang yang tidak bisa menjaga terhadap diri sindiri. Banyak juga apabila dalam hari yang dianggap sakral ada yang bertapa, ada yang menginginkan mendapatkan “ilmu”, dan sebagainya karena saya juga kurang tahu. Bila masuk(kedalam Sanghyang Tikoro) sebatang lidi atau bulu, rambut, sering ada suara menjerit di dalam Sanghyang Tikoro. Tapi bapak juga selama menetap disini belum pernah mendengar suara tersebut”.

Ia beranggapan bahwa orang yang datang ke sekitar Sanghyang Tikoro tidak boleh bertingkah(negatif) seenaknya karena sering ada mahkluk jail yang akan membuat celaka pada orang itu. Pendapat tersebut memang mirip dengan narasumber pertama namun perbedaannya, narasumber kedua sepertinya lebih percaya terhadap mitos yang beredar di masyarakat. Ada informasi yang mirip dengan artikel yang penulis unduh dari website, bahwa bila masuk sebatang lidi dan sehelai rambut saja kedalam Sanghyang Tikoro maka akan terdengar suara jeritan dari dalam lobang tersebut. Namun, ia sendiri belum pernah mengalami  langsung fenomena mistis yang ada di gua purba tersebut.
Narasumber terakhir yang penulis temui yaitu Dadin Tarmana seorang pedagang jajanan warung dan berdomisili asli desa Saguling. Dari hasil wawancara dengannya penulis mendapat informasi yang belum pernah ditemukan di website dan sumber lainnya. Informasi tersebut berkenaan dengan penjaga Sanghyang Tikoro yang merupakan utusan raja. Ia mengatakan,
“Sanghyang Tikoro teh jang kapungkur mah sok aya jelema  nu ngajagi, salah sawiosna raden hyang. Tah dipalih tonggoh oge aya tempat kanggo ziarah ka raden hyang teh. Biasanamah sok seueur nu jarah kadinya teh. Aya oge nu dongkap kadinya teh gaduh niatan teu leres jang. Naon weh da rupi-rupi kahoyong jelema mah. Tah kapungkur raden hyang teh ceuk kolot baheula mah utusan raja pikeun ngajaga daerah sabudeureun Rajamandalala kalebet Sanghyang Tikoro oge.

Sanghyang Tikoro itu dik dahulu suka ada orang yang menjaga, salah satunya raden hyang. Di ujung atas(arah barat daya) juga ada situs dan tempat untuk berziarah kepada raden hyang. Biasanya banyak yang berziarah ke sana. Adapula yang datang kesana punya niat yang kurang baik. Apapun karena keinginan manusia itu macam-macam. Menurut orang tua zaman dulu raden hyang adalah utusan raja untuk menjaga daerah sekeliling Rajamandalala termasuk Sanghyang Tikoro.

Dadin menegaskan bahwa daerah Sanghyang Tikoro dan sekitarnya pada zaman dulu memiliki penjaga bernama raden hyang. Raden Hyang disebut sebagai utusan dari raja, apakah mungkin Prabu Siliwangi? Mungkin saja karena Rajamandalala merupakan daerah kekuasaan dari kerajaan Pajajaran. Situs dan tempat untuk berziarah kepada Raden Hyang pun letaknya tidak jauh dari Sanghyang Tikoro, kurang lebih sekitar 800 meter. Ada informasi pula bahwa beberapa orang datang berziarah dengan maksud-maksud tertentu. Akan tetapi informasi mengenai Raden Hyang belum begitu jelas. Apakah dia benar sebagai penjaga?atau mungkin punya tujuan lain? Wallahualam
Ketiga pendapat diatas merupakan sampel dari pikiran dan pengetahuan yang ada di masyarakat dalam  memandang Sanghyang Tikoro. Perlu disampaikan pula, bahwa bagaimanapun perbedaan mereka berasumsi, entah itu positif ataupun negatif,  rasa bangga karena telah memiliki Sanghyang Tikoro sebagai situs gua purbakala serta segenap cerita foklor yang ada dibalik ke indahannya tetap ada dalam jiwa setiap narasumber khususnya dan masyarakat Bandung pada umumnya.
Pada waktu-waktu tertentu menurut masyarakat sekitar banyak orang yang terlihat sedang bertapa disekitar Sanghyang Tikoro. Di masyarakat pula terdapat beberapa mitos seperti apabila kedalam lobang Sanghyang Tikoro dibuang sebatang lidi atau sehelai rambut maka akan terdengar suara jeritan yang sangat pilu ketika hal itu terjadi masyarakat mempercayai bahwa Bandung akan tenggelam dan kembali menjadi danau kemudian ada pula yang menyebutkan bahwa segala apapun yang masuk kedalam lobang Sanghyang Tikoro semisal batu atau kayu akan hancur. Mungkin ini salah satu alasan mengapa dinamakan Sanghyang Tikoro (tikoro merupakan organ tempat masuknya segala macam makanan dan pasti akan hancur dicerna). Hal tersebut mungkin terjadi dengan struktur lobang gua yang berbatu dan tidak rata sehingga, benda seperti kayu saat terbawa derasnya air, akan berbentura dengan batuan di dinding gua.


Bandung Menurut Aspek Ilmu Geologi
Hingga sekarang belum ada satupun orang yang berani masuk kedalam gua Sanghyang Tikoro sehingga tidak ada yang berani memastikan berapa panjang gua Sanghyang Tikoro tersebut. Ada yang menyebutkan panjangnya mencapai 800 meter. Konon air yang masuk ke dalam Sanghyang Tikoro tidak seluruhnya mengalir kembali ke sungai citarum, tapi sebagian masuk kedalam tanah. Karena itulah orang menyamakannya dengan tikoro. Jelas sekali terjadi perbedaan pendapat tentang asal muasal terbentuknya Sanghyang Tikoro, gunung tangkuban perahu, gunung burangrang versi cerita Sangkuriang dengan hasil ilmu pengetahuan. Versi ilmiah hasil penelitian ahli geologi, Sanghyang Tikoro, gunung tangkuban perahu, dan gunung burangrang terbentuk akibat meletusnya Gunung Sunda. Sekitar 20-30 juta tahun yang lalu daerah tersebut adalah terumbu karang indah dengan kedalaman sekitar 10-20 meter. Terbentuknya gua bawah tanah tersebut membuktikan bagaimana hebatnya proses erosi yang dilakukan aliran Citarum hingga mampu melubangi batuan kapur yang keras(historiology.com).
Dahsyatnya letusan mengakibatkan seluruh permukaan badannya hancur tak bersisa. Setelah letusan, yang tersisa  hanyalah lubang-lubang lekukan yang dalam dengan muntahan laharnya yang sangat panas. Karena banyaknya mengeluarkan lahar panas, menyebabkan sungai didaerah Batujajar, Cililin, dan Padalarang tertimbun dan berubah menjadi lahar dingin. Lama kelamaan menggunung dan membentuk sebuah telaga yang kemudian populer dengan sebutan Talaga Bandung.
Tanah di Padalarang dan Cililin umumnya mengandung kapur. Namun sedikit demi sedikit akhirnya terkikis membentuk lubang aliran yang kelak dikenal dengan Sanghyang Tikoro. Menurut para Geolog di Bandung, sebenarnya Sanghyang Tikoro adalah sebuah gua yang berbahan dasar batu gamping yang bagian bawahnya dilalui aliran air sungai Citarum yang deras. Banyak orang percaya bahwa gua ini adalah tempat bobolnya Danau Bandung Purba. Padahal dalam buku Geowisata Sejarah Bumi Bandung yang ditulis T.Bachtiar bersama rekan-rekan dari Riset Cekungan Bandung, menyatakan bahwa bobolnya danau tersebut bukan di sini melainkan di daerah Pasir Kiara dan Pasir Larang.

Sangkuriang dan Falsafah Sunda
Dalam satu artikel yang penulis dapatkan dari suatu website, berisi mengenai makna filosofos serta falsafah dari cerita Sangkuriang termasuk didalamnya Sanghyang Tikoro. Menurut abah Surya atau abah Hidayat Suryalaga, mantan Rektor Itenas Bandung, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang mempengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada ahirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).
Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).
Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat. (Sanghyang Tikoro = kerongkongan, genggerong).
Kesimpulan
Sanghyang Tikoro merupakan situs gua purba kala yang banyak menyimpan cerita di balik keunikan dan keeksotisnya. Salah satunya adalah kaitan dengan legenda murkanya Sangkuriang serta hubungan jebolnya danau purba Bandung.  Mitos-mitos yang mengiringi pun beragam dari mulai mahkluk-mahkluk gaib yang akan mencelakai orang tidak sopan sampai suara jeritan yang terdengar apabila sehelai rambut masuk ke dalam lobang tersebut. Namun, secara hukum berpikir benar hal tersebut kurang masuk nalar. Cerita tentunya membuat banyak pertanyaan dalam benak kita, tetapi pertanyaan yang paling penting apakah kita sebagai manusia dapat menyelami makna dari fenomena foklor yang terjadi? Apa tujuannya foklor tersebut? Serta adakah manfaat yang dapat kita ambil dari symbolic advice yang di buat oleh para nenek moyang kita?


Dalam ilmu Antropologi manusia disebutkan sebagai animal symbolicum, artinya manusia adalah mahkluk yang selalu menggunakan simbol. Tak terkecuali cerita foklor di Sanghyang Tikoro. Hampir dipastikan bahwa cerita tersebut merupakan salah satu simbol untuk kepentingan tertentu yang hubungannya dengan kehidupan manusia. Diperlukan penelitian lebih mendalam atau secara etik untuk mengungkap lebih dalam cerita dibalik Sanghyang Tikoro.
Sebagai mahkluk tuhan tentunya segala sesuatu kita kembalikan kepada-Nya, sang indah sang kuasa atas segala sesuatu di dunia ini. Khususnya fenomena keindahan, keangkeran, serta kewibawaan situs gua puba Sanghyang Tikoro wajib disyukuri dengan pikir dan tindakan. Tentunya tindakan kita sebagai manusia yaitu menjaga agar alam tidak selalu dieksploitasi oleh tangan manusia sendiri untuk kepentingan yang bersifat pragmatis.














Sumber:
Historiology.bolgspot.com
Udug-udug.com
Wikipedia.com