Teater GERKATIN Solo
“Berbeda Bukan
Penghalang
Berekspresi”
Momentum
sumpah pemuda telah sepekan lebih berlalu, kegiatan yang bertemakan peringatan bangkitnya “gairah” persatuan para pemuda
bangsa tersebut digelar di berbagai tempat, baik oleh masyarakat pada umumnya
maupun para kelompok atau gerakan – gerakan pemuda di tanah air. Seluruh pemuda
negeri berbondong – bondong meneruskan semangat para pemuda dengan berbagai
cara. Berkarya untuk bangsa, itulah angan yang mencambuk nurani para pemuda
untuk terus memanjat tebing proses pencapaian asa. Berbagai kegiatan, ide,
karya, aksi, dan sebagainya, bagi pemuda yang “sehat” secara fisik tentunya
memungkinkan untuk berbuat berbagai hal di atas. Namun, bagaimana dengan
saudara kita sesama pemuda yang oleh Tuhan dikaruniai fisik tidak sempurna? Dapatkah mereka
menikmati atmosfer sumpah pemuda? Bagaimanakah mereka berbuat dalam
ketidaksempurnaanya itu?
Secercah Harapan
Teater
Gerakan Kesejahteraan Anak Tuna Runggu Indonesia (GERKATIN) merupakan wadah
kreativitas pemuda Tuna Rungu Solo yang terbentuk pada 2009 lalu. Agung “Tompel” seorang sutradara yang
mempelopori kelompok ini, berhasil mengantarkan para penyandang difabel Tuna
Rungu Solo untuk berekspresi dan berkarya seni khusunya dalam bidang sandiwara.
Terbentuknya kelompok teater ini tentunya adalah media yang cocok untuk sarana
berekspresi dan ajang pembuktian kepada masyarakat bahwa merekapun dapat
melakukan sesuatu yang bermakna, sarat nilai, dan berestetika tinggi.
Agus (23) seorang Tuna Rungu asli Solo, menyatakan bahwa
saat awal terbentuknya kelompok, dia merasa khawatir. Perasaan yang lebih
menjurus terhadap keraguan akan
kemampuan dirinya. Tentunya beberapa teman sesamanya juga merasa demikian,
berprasangka ketidaksanggupan terhadap dirinya sendiri. Namun, berkat peran
serta dari berbagai pihak terutama seperti
teman – teman dari kelompok teater Peron FKIP UNS, Deaf Voluntering Organization (DVO), dan pengurus GERKATIN cabang
Solo yang senantiasa andil memberikan sumbangan tenaga maupun pikirannya. Dengan penggemblengan
yang tidak mudah, proses yang begitu lama terbayar dengan hasil yang luar
biasa. seluruh anggota penyandang disabilitas tersebut dapat keluar dari
belenggu ketidakmampuannya. Mereka berekspresi dengan begitu yakin, semangat,
dan percaya diri. Decak kagum dari berbagai pihak terutama aktifis teater
begitu mengapresiasi penampilan kelompok teater yang spesial ini.
Wadah
kreativitas yang sangat positif, menstimulan para pemuda ini untuk bangkit,
semangat, serta dapat menjadikannya lebih berhasrat dalam menjalani kehidupan.
Salah satu titik terang dimana eksistensi mereka penyandang difabel, khususnya
para Tuna Rungu di Solo mulai melebar. Sayap yang sejak dulu terlipat kini
mulai membentang membuka hendak mengepak menerjang angkasa. Momentum sumpah
pemuda kini dapat mereka isi dengan ekspresi – ekspresi polos inspriratif yang
selalu menggugah hati setiap penontonnya.
Sepak Terjang
Proses
latihan yang dilakukan secara berkala dari pertama kali terbentuk termasuk
bersama teman – teman kelompok Teater Peron UNS, telah menelurkan 3 kali
pementasan. Pementasan tersebut pertama digelar bersama sutradara pelopor
kelompok GERKATIN, pertunjukan Of Sign
Theatre oleh komunitas mahasiswa Fakultas Psikologi UNS berjudul Sudo Ora Sudo di
Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo pada 4 April 2013, serta menjadi bintang tamu dalam kegiatan
Festival Sandiwara Realis Pelajar (FSRP) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teater
ISI Surakarta (HIMATIS) pada 3 November 2013
dengan sajian yang berjudul “Dongempi” atau akronim dari “Dongeng Negeri Mimpi” sebagai penutup
acara.
Dua
sajian terakhir tidak lepas dari kerja keras Sandhi Wardhana sebagai seorang
sutradara yang telah memoles para anggotanya menjadi pemain sandiwara dengan
ekspresi yang sempurna. Kesabaran, semangat, dan tujuan besar membuat semua tim
yang mendukung seolah melaminasi kelompok penyandang disabilitas ini. Peran
para anggota DVO dalam memandu dan mendampingi terutama kaitannya dengan
komunikasi, sangat membantu menjembatani kelancaran dalam proses latihan maupun
saat eksekusi pertunjukan. Para Tuna Rungu pada akhirnya dapat mengeksplorasi
kemampuannya untuk dinikmati khalayak.
Tiga
bulan berproses dalam “Kawah Candradimuka” memang bukan suatu yang gampang.
Dikatakan demikian karena proses yang berkala tersebut dilakukan untuk satu
karya sajian. Hal di atas dapat kita tafsir bahwa kesulitan baik para pemain
maupun sutradara dan segenap crew-nya.
Terutama dalam hal sinkronisasi dari maksud sutradara dengan implementasi yang
dihasilkan oleh setiap anggota teater GERKATIN. Adit (23) seorang anggota DVO
asal Bantul mengemukakan pengalamannya ketika mendampingi, salah tangkap
terhadap maksud si sutradara seolah menjadi makanan pokok dalam setiap proses
latihan mereka. Namun kerja keras dan keyakinan kuat dari seluruh teman – teman
difabel serta pendukungnya, sehingga satu demi satu karya dapat diselesaikan
dengan cukup baik. Akhirnya tiga pentas terakhir berbuah apresiasi dan tepukan
tangan meriah tanda kepuasan dari para penontonnya. Artikel – artikel baik
media masa maupun elektronik pada akhirnya seperti mendifusikan informasi
keberadaan kelompok “sandiwara ekspresi” tersebut di masyarakat.
Ekspresi
Jadi Kunci
Aksi
pemain teater GERKATIN Solo yang memukau di atas panggung memang titik tekannya
ialah dalam penyampaian nonverbal dilakukan dengan cara maksimal. Pada konteks
ini peran sutradara memberi komando layaknya dirigen yang menentukan mobilitas
dan tugas dari masing
– masing pemain pada setiap babak jalannya sajian. Dalam penyajiannya, memang
hadir musik untuk mengiringi pertunjukan. Namun, sebenarnya musik berperan
mengisi suasana dalam perspektif yang hanya dirasakan oleh penonton ataupun
apresiator. Memang saat jalannya pertunjukan seoloah – olah mereka mengikuti
dan merasakan musik. terjadi pemandangan “semu” karena sebenarnya musik yang
mengikuti setiap gerakan dalam babak sajian. Tidak seperti pertunjukan teater
pada umunya, karena semua elemen penyaji yang saling berhubungan. Pada teater
anak difabel, musik mendukung sajian para pemain untuk memperindah pertunjukan
terhadap penonton, sedangkan para pemain teater hanya memproyeksikan ekspresi
kepada penonton tanpa memperdulikan sajian musik. Memang hal logis, saat Tuna
Rungu memang mempunyai permasalahan dengan pendengarannya.
Keluar
dari permasalahan kekurangan dalam fisik, mereka memiliki satu “ajian” memukau
yang dilakukan oleh seperangkat tubuh, energi, gerak total, dan yang paling
tampak sekaligus vital ialah ekspresi total mereka. Runtutan komando yang
dikirim oleh sutradara diimplementasikan oleh masing – masing para difabel
dengan kemampuannya yang bisa dikatakan telah mencapai virtuositas pemeranan
yang dapat disejajarkan bahkan tidak menutup kemungkinan lebih dengan para
pemain teater yang notabene memiliki fisik normal. Ekspresi seperti menjadi
taring dalam mengoyak decak kagum penonton, menjadi senjata pembunuh caci
makian dari orang – orang yang tak mampu mendalami arti anugerah. Kini mereka
yang secara fisik “kurang” menjawab setiap pertanyaan yang berhubungan dengan
eksistensi mereka. Para difabel Tuna Rungu Solo menjadi lebih percaya diri pasca
pembuktiannya lewat
sajian – sajian ekspresi penuh nilai, baik tekstual maupun konteks. Dari
fenomena di atas masyarakat serta pemerintah dapat menilai dan mengambil “buah”
perenungan untuk dapat lebih memberikan solusi serta ide mutakhir lain dalam
menambah wadah yang menampung kreativitas, untuk mencetak para penyandang
disabilitas yang berprestasi untuk bangsa. Salah satu titik yang telah
dibuktikan oleh teater Gerkatin Solo yaitu kekuatan ekspresi menuju sebuah
totalitas dalam berkarya seni.
Denis Setiaji
Mahasiswa Etnomusikologi
ISI Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar