etnomusikologi 2011

etnomusikologi 2011
makrab '11

Rabu, 27 Februari 2013

Joged Bumbung di Bali


Pendidikan Seksual pada Joged Bumbung
            Bali merupakan wilayah dengan pemeluk agama Hindu terbesar di Indonesia. Agama Hindu identik dengan berbagai macam ritual. Lazimnya berbagai ritual maupun kegiatan lainnya yang non ritual tidak lepas dengan kesenian, khususnya seni pertunjukan. Berbagai upacara dalam kegiatan yang dilakukan untuk ritual dalam Panca Yatnya ataupun media mencapai Tri Hita Karana (tiga jalan mencari kedamaian). Kegiatan pertunjukan di Bali diantaranya, musik (gamelan Bali), Tari, Wayang, Teatrikal dan sebagainya.  Kesenian khususnya seni pertunjukan berperan penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
            Bali dikenal memiliki berbagai macam seni pertunjukan, khususnya tari seperti, Tari Gambuh, Barong, Rangda, Sanghyang, Janger,   Joged, kecak (cak) dan sebagainya. Jenis tari tersebut ada yang bersifat sakral sebagai ritual, seperti untuk persembahan untuk sanghyang widi wasa adapula yang hanya bersifat hiburan atau sebagai pariwisata. Tentunya tari-tari Bali merupakan objek yang menarik perhatian turis, baik domestik maupun mancanegara.
      Salah satu tarian yang menarik bagi masyarakat maupun pengunjung Bali ialah Tari Bumbung atau lebih familiar dengan sebutan Joget Bumbung. Joged Bumbung merupakan tari pergaulan yang sangat populer di Bali. Joged Bumbung diiringi oleh Gerantang berlaras slendro. Gerantang ini asal mulanya dari Bumbung Gebyog yang sekarang masih ada di daerah Kabupaten Tabanan dan Jembrana. Gamelan Bumbung tersebut digunakan untuk mengiringi si penari Ngibing baik sendiri maupun berpasangan dengan penonton. Joged Bumbung merupakan hiburan yang cukup semarak dan meriah bagi masyarakat Bali.
Tari ini memiliki pola gerak yang agak bebas, lincah, dan dinamis, yang diambil dari Legong maupun Kekebyaran dan dibawakan secara improvisatif. Si penari melakukan gerakan-gerakan atraktif yang menarik penonton. Tidak hanya lincah dan dinamis, unsur bebas dalam gerakan Joged Bumbung cukup menarik. Gerakan-gerakan goyang seperti dalam musik dangdut koplo yang berkesan “vulgar” dan menantang hasrat para kaum lelaki disajiakan secara terbuka bagi siapapun.
Joged Bumbung tersebut ditonton oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, sampai dewasa. Adegan-adegan yang termasuk “panas” dilakukan penari dengan pasangannya tersebut tentunya juga dilihat oleh anak-anak dan para remaja. Hal tersebut mungkin dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan kedewasaan si penonton muda. Gerakan bergoyang dengan saling berhadapan secara dekat, serta sesekali melakukan adegan memeluk, dan gerakan lainnya yang berbau seksualitas, tentunya tidak menutup kemungkinan  membuat penonton khususnya remaja dan anak-anak mendapat pengetahuan seksual dari sajian Joged tersebut.
Melakukan aktivitas menonton Joged Bumbung secara continue oleh anak-anak dan   remaja dapat mempengaruhi psikis mereka terutama menambah pengalaman dalam fikiran mereka hal-hal yang bersifat dewasa. Hal ini mungkin saja merupakan salah satu media pendidikan seksual yang dilakukan masyarakat Bali kepada anak-anak dan remaja melalui media kesenian. Namun, statement diatas masih merupakan asumsi dasar yang akan dibuktikan kebenarannya oleh penulis.
·         Joged Bumbung dan Masyarakat Bali
Joged Bumbung[1] adalah semacam tari pergaulan muda-mudi, diiringi dengan gamelan yang terbuat dari bumbung kayu . penari Joged tersebut pada awal penampilannya menari sendiri yang disebut ngalembur. Setelah bagian tarian tersebut dilakukan, si penari mencari seorang pasangannya seorang laki-laki. Salah seoarang penonton laki-laki dihampiri oleh si penari, dan laki-laki itu kemudian diajaknya menari bersama-sama atau ngibing. Si penari berganti-ganti pasangan yang dia ambil dari penonton yang dipilihnya, terus- menerus seperti itu sampai batas waktu pentas yang di sepakat. Bahkan dewasa ini pagelaran Joged Bumbung dikomersilkan dengan sistem “kupon”, jadi yang ingin mendapat giliran menari harus mengantri sesuai urutan kupon yang telah dibeli.
Joged Bumbung ini biasa digelar pada acara-acara pernikahan,  perayaan hari besar Hindu, hari besar Nasional, nyambut gawe, di tempat-tempat pariwisata dan sebagainya. Tari Joged Bumbung ini sangatlah populer di masyarakat Bali, bisa dikatakan Joged Bumbung merupakan tarian yang merakyat, semua golongan bisa menonton pertunjukan tersebut tanpa memandang kedudukan atau status sosial. Ketika di wilayah Pura pun Joged Bumbung di pertunjukan di Jaba, dimana semua kegiatan bisa dilakukan di tempat tersebut. Tentunya orang-orang dari kalangan apapun dapat beraktifitas disana, termasuk  remaja dan anak-anak pun dengan bebas dapat menonton pertunjukan di Jaba[2] khususnya pertunjukan Joged Bumbung.
Joged Bumbung begitu melekat pada masyarakat Bali karena memiliki aspek hiburan yang sangat tinggi. Antusiasme masyarakat terhadap kesenian ini sangatlah besar khususnya para remaja yang sedang masuk masa pubertas. Masyarakat berbondong-bondong jika ada suatu pertunjukan Joged Bumbung di sekitar tempat tinggal mereka. Oleh karena itu pagelaran Joged Bumbung tidak pernah sepi dengan penonton. hampir semua orang di Bali pernah ikut memeriahkan perhelatan Joged Bumbung tersebut.

·         Gerak Paibing Ibing Joged Bumbung
Gamelan Grantang berlaras slendro dan kendang Bali yang di mainkan oleh para penabuh memiliki peran penting dalam membangun agresifitas serta menstimulan gerakan-gerakan atraktif dan “menantang” dari si penari. Penari memakai pakaian khas untuk Joged Bumbung, hiasan (ikat) kepala, kipas yang di pegang tangan, pakaian tari bali dengan bawahan seperti rok dengan tujuan untuk memudahkan si penari memamerkan bagian tubuh yang dapat menarik perhatian, serta semacam kain putih panjang yang di berikan kepada penonton sebelum ngibing.
Pertama penari ngibing tanpa pasangan, melakukan gerakan-gerakan erotis, bergoyang “ngebor”[3], menaik-naikan rok memampangkan paha bahkan bergoyang sampai pakaian dalam bagian bawah si penari terlihat. Setelah beberapa waktu penari berjoged sendiri, kemudian ia mengajak salah seorang penonton laki-laki dengan memakaikan kain putih di pinggang penonton yang di pilih.  Musik Bumbung terus dimainkan, penari dan pasangannya mulai melakukan gerakan paibing ibing.
Gerakan paibing ibing  yang dilakukan pasangan tersebut selalu dilakukan dengan bermesaraan. Setiap penonton yang ditarik untuk ngibing pasti mendapatkan perlakuan yang dianggap “panas” oleh si penari. Adegan-adegan “panas” tersebut seperti memeluk sambil melakukan gerakan suami istri (senggama) walaupun dilakukan sambil berdiri, si penonton yang lepas kontrol biasanya mencium penarinya, kadang pula pasangan ngibing saling mencolek bagian vital satu sama lain, bahkan ada pula penonton yang terlentang kemudian si penari bergoyang di atasnya. Itulah Joged Bumbung ketika adegan erotis berlangsung penonton bersorak-sorai dan tertawa terhibur dengan hal tersebut, mungkin juga para penonton laki-laki baik dewasa atau remaja perasaannya bergejolak ketika adegan tersebut mereka lihat. Paibing Ibing adalah bagian yang paling menarik, karena dari sini muncul asumsi pendidikan seksual untuk para penonton muda dari perhelatan Joged Bumbung.
·         Joged Bumbung dan Pendidikan Seksual Kaum Muda
Menurut Salzman dalam (Yusuf, 2005:184) menyatakan bahwa :
Remaja merupakan perkembangan sikap tergantung (depedent) terhadap orangtua kearah kemandirian (independent), minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika serta isu-isu moral.
Hal diatas memperkuat asumsi penonton remaja di Bali mendapatkan pengetahuan-pengetahuan seksual dari sajian Joged Bumbung, karena usia remaja mereka mulai memperhatikan dan mengarah terhadap minat-minat seksual. Sajian Joged Bumbung yang secara gamblang menampilkan adegan-adegan dewasa, tentunya akan tersimpan dalam setiap memori remaja yang melihatnya. Mereka menyerap, mengolah, dan masing-masing berbeda cara mensikapinya.

Kaum muda identik dengan proses pencarian jati diri. Mereka mencoba mengejawantahkan identitas guna menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dalam perjalanannya, mereka cenderung mencari panduan maupun panutan. Tari merupakan salahsatu yang berperan sebagai media sekaligus produk seni yang paling digemari anak muda. Ini dikarenakan kemasannya yang tidak memaksa, justru sangat persuasif. Menurut Coleman (2004), musik (kesenian dalam hal ini juga menyangkut tari) mempunyai pengaruh lebih kuat dibanding media massa lain. Ia mampu memenuhi tuntutan kaum muda dalam mengeksplorasi teks melalui lirik, audio melalui instrumen, serta visual melalui aksi para penyaji.  Ia menjadi bagian dari bagaimana anak muda mendeskripsikan dirinya. Tentang siapa dia, apa musik kesukaannya. Menurut Storey (2006, 129), mengonsumsi musik menjadi sebuah cara mengada (way of being) di dunia. Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya kaum muda menilai dan dinilai oleh orang lain.  (Amnestirmata.blogspot.com)

Adanya tahap penerimaan pesan  oleh penggemar/penonton biasanya dilanjutkan dengan proses imitasi. Imitasi atau meniru adalah suatu proses  melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan role model. Menurut Teori Peniruan Bandura, tokoh yang menjadi panutan dan menarik seseorang untuk melakukan imitasi terhadapnya adalah seseorang yang disukai oleh pelaku imitasi. Proses imitasi inilah yang membuat muatan seksualitas dalam tari tidak berhenti pada saat pelaku tari menyatakannya di depan khalayak. Ia kemudian diterima dan diaplikasikan oleh penggemar. Beberapa yang kritis melakukan filterisasi atasnya. Sebagian lainnya menerima sekaligus mengaplikasikannya secara keseluruhan.
(amestimarta.blogspot.com)

Seksualitas merupakan bahasan yang perlu dikaji ulang dalam cakupan lebih luas. Hal tersebut berusaha dikomunikasikan oleh tari, terutama melalui attitude-nya. Pengiriman pesan termuat seksualitas oleh pelaku tari terhadap penonton atau penggemar, yang keduanya merupakan bagian dari kaum muda, seharusnya disikapi tidak semata-mata sebagai perusak moral generasi. Lebih dalam, ia mampu dijadikan reflektor tentang sejauh mana seksualitas muncul dalam budaya kaum muda. Bagaimana kaum muda memaknai seksualitas yang kemudian membentuk perilaku seksual mereka. Dengan adanya pengkajian terhadap seksualitas dalam budaya kaum muda yang direpresentasikan dan  diproduksi ulang oleh musik, seharusnya pembuat kebijakan dapat melihat bahwa akses atas informasi terkait seksualitas yang edukatif perlu diangkat ke ranah pendidikan sehingga dampak negatif dari pesan bermuatan seksualitas yang salah kaprah dapat diminimalisasi. Adanya seksualitas dalam musik juga memberikan pengakuan tersendiri atas  keberadaan kaum minoritas seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender)sebagai bagian dari keberagaman masyarakat.
            Joged Bumbung merupakan tradisi masyarakat Bali yang perlu di lestarikan. Kaitan dengan essensi apa yang ada di balik Joged Bumbung perlu ada penelitian lebih lanjut. Penulis berharap kritikan dan saran dari berbagai pihak terutama dosen pengampu mata kuliah Budaya Musik Nusantara, karena tulisan ini masih banyak sekali kekurangan. Harapan penulis, tugas ini merupakan batu loncatan untuk meningkatkan skill menulis sebagai kompetensi utama di bidang Etnomusikologi.


[1] Tari Joged Bumbung ini ada persamaannya dengan Tari Gandrung, hanya saja Tari Gandrung pada zaman dahulu di tarikan laki-laki. (Djaus BA,1979: 55)
[2] Bagian paling luar dari Pura, Pura dibagi kedalam 3 bagian yaitu Jeroan, Jaba Tengah, dan Jaba dalam. (matakuliah Budaya Musik Nusantara semester III)
[3] Istilah goyang yang di lakukan oleh arti dangdut Inul Daratista.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar