etnomusikologi 2011

etnomusikologi 2011
makrab '11

Rabu, 17 September 2014

Dakwahtainment tausyiah atau nonton hiburan?

Dakwahtainment
 tausyiah atau nonton hiburan?

Dakwah di Bulan Suci

Bulan suci ramadhan bagi umat muslim merupakan momentum dalam meningkatkan ibadah untuk mendapatkan pahala yang berlipat. Atmosfer ramadhan  setiap tahunnya selalu terlihat berbeda dengan bulan-bulan lain.  Salah satu indikator ialah event keagamaan yang konsentrasinya semakin mengental‚baik kegiatan di lingkungan masyarakat umum maupun program-program religi yang digelar oleh media khususnya media elektronik. Gebyar ramadhan dengan jutaan aktifitas berbagi ilmu setiap harinya menjadi kegiatan annual bagi masyarakat muslim Indonesia. Aktifitas dakwah  menjadi suatu yang inherent bagi muslim dan intensitasnya meningkat drastis di bulan suci. Tak terkecuali pada ramadhan tahun ini, berbagai kegiatan ceramah dan tausyiah di seluruh pelosok tanah air begitu gencar dilakukan dalam rangka mengisi waktu ramadhan dengan tolabul ‘ilmi. Media elektronik seperti televisi tidak ketinggalan dalam menyemarakan bulan suci umat muslim ini dengan berbagai program religi bertemakan ramadhan. Acara-acara tausyiah digelar hampir di setiap stasiun televisi swasta ataupun negeri. Bahkan salah satu format dakwah yang sedang eksis yaitu dakwahtainment yang diusung oleh beberapa media televisi‚ yakni kolaborasi kegiatan dakwah dengan diselingi beberapa jenis hiburan seperti perform musik serta selingan humor. Namun menjadi problematik jika kegiatan dakwah sebagai sarana berbagi dan mendapatkan ilmu mengalami pergeseran dalam sudut pandang tujuan yang disebabkan persentase dari materi dakwah dan hiburan yang kurang ideal. Kemasan acara yang disajikanpun menjadi salahsatu sorotan yang mungkin dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi oleh masyarakat muslim di tanah air.

Kemasan Lazim dan Dakwahtainment

Media televisi menyajikan berbagai program acara seperti tabligh akbar‚kultum‚ tausyiah dan sejenisnya yang dikemas dengan memasukan sentuhan kreatif agar acara yang disajiakan kepada para pemirsa dan penonton lebih menarik.  Jika melihat lazimnya masyarakat‚ aktifitas dakwah yang biasa dilakukan adalah dengan format sederhana, Da’I membawakan materi ceramah di atas mimbar, duduk berlesehan di panggung kecil, maupun sambil berdiri di depan para mustami’. Acara yang lazim digelar tentunya menitik beratkan pada konten ceramah, waktu semaksimal mungkin untuk jalannya transfer ilmu, walaupun tidak menutup kemungkinan diselingi dengan perform musik sebagai pelengkap acara, namun sebagian besar musik yang ditampilkanpun bernuansa islami seperti nasyid, rebana, qasidah, dan sejenisnya. Semua rangkaian acara tausyiah tersebut dirangkai dengan sajian sederhana bernuansa islami yang kental dan tenang sehingga efektif karena para mustami fokus dalam menyerap materi dakwah yang disampaikan. Aktifitas dakwah yang ditayangkan oleh media televisi sebelumnya mengusung format seperti yang sering digelar oleh masyarakat, walaupun memang sedikit menyisipkan kreatifitas dalam segi properti dan sebagainya untuk memperindah sajian acara. Seiring dengan perkembangan kreatifitas yang semakin di explore, kini hadirlah dakwahtainment. Sebuah bentuk baru dari dakwah yang dibumbui oleh elemen-elemen hiburan serta disajikan layaknya sebuah konser musik pada panggung besar dan begitu glamour. Pengisi acara pun menjadi lebih bervariasi, tidak hanya sang ustad yang menyampaikan materi keagamaan, bintang tamu pengisi acara pun semakin bervariasi. Tidak hanya selingan musik yang bergenre nuansa islami, tetapi penyanyi musik pop bahkan girls dan boys band tidak ketinggalan dalam menyemarakan perhelatan tabligh akbar tersebut. Ada satu pemandangan yang unik pada program tabligh akbar yang di siarkan salah satu stasiun televisi, ketika jalannya tabligh akbar muncul fandom dari pada para performer musik dilengkapi dengan spanduk sebagai label fanatisme dari salah satu girls band yang hadir di malam itu. Pada akhirnya kesan yang ditimbulkan malah seperti pagelaran konser musik yang diselingi ceramah. Tentunya judul acara “Tabligh Akbar” tersebut dipertanyakan kembali jika melihat kemasan mix and match tausyiah dan hiburan seperti di atas. Jika dilihat antusiasme penonton juga cenderung lebih mengapresiasi para bintang tamu yang seharusnya berfungsi sebagai selingan hiburan. Fenomena seperti ini menjadi suatu yang timpang terutama bila kita telaah dari sudut pandang tujuan serta metode dakwah islam yang lebih ideal.

Renungan

Dari kasus di atas barangkali timbul berbagai pertanyaan, salah satunya tujuan apakah yang media usung dengan membuat model dakwah seperti di atas, jika memang sebagai wadah untuk menebar ilmu kepada masyarakat, apakah dengan cara menyisipkan hiburan yang lebih dominan akan menggerakan masyarakat untuk fokus terhadap materi dakwah. Realitanya yang terjadi adalah munculnya para fans pengisi hiburan. Hal ini membuat pertanyaan berikutnya, apakah mereka datang untuk mencari ilmu ataukah sekedar melihat penampilan salah satu pengisi acara yang diidolakan? Jika ironisnya memang hal tersebut yang terjadi maka acara tabligh akbar kini telah mengalami pergeseran tujuan yang tadinya sebagai ajang untuk mendapatkan ilmu, malah menjadi wadah tampilnya para pengisi hiburan sehingga essensi tolabul ‘ilmi menjadi tipis. Dakwahtainment memang merupakan sebuah karya media, terefleksi dari pengaruh globalisasi yang menstimulan kreativitas tak terbatas serta bertumpu pada aspek komersil. Hadirnya format dakwah tersebut tentunya diterima dan dikonsumsi masyarakat muslim Indonesia secara baik, karena memang kegiatan ceramah dan tausyiah yang ditayangkan di televisi mempermudah kita dalam mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya. Namun harus direnungkan pula bagaimana gelaran dakwah oleh media tersebut mampu mendorong masyarakat agar secara positif lebih antusias pada essensi dakwahnya bukan membuat hiburan yang mendominasi.


Teater GERKATIN Solo “Berbeda Bukan Penghalang Berekspresi”

Teater GERKATIN Solo
“Berbeda Bukan
Penghalang Berekspresi”

Momentum sumpah pemuda telah sepekan lebih berlalu, kegiatan yang bertemakan peringatan bangkitnya “gairah” persatuan para pemuda bangsa tersebut digelar di berbagai tempat, baik oleh masyarakat pada umumnya maupun para kelompok atau gerakan – gerakan pemuda di tanah air. Seluruh pemuda negeri berbondong – bondong meneruskan semangat para pemuda dengan berbagai cara. Berkarya untuk bangsa, itulah angan yang mencambuk nurani para pemuda untuk terus memanjat tebing proses pencapaian asa. Berbagai kegiatan, ide, karya, aksi, dan sebagainya, bagi pemuda yang “sehat” secara fisik tentunya memungkinkan untuk berbuat berbagai hal di atas. Namun, bagaimana dengan saudara kita sesama pemuda yang oleh Tuhan dikaruniai fisik tidak sempurna? Dapatkah mereka menikmati atmosfer sumpah pemuda? Bagaimanakah mereka berbuat dalam ketidaksempurnaanya itu?

Secercah Harapan
Teater Gerakan Kesejahteraan Anak Tuna Runggu Indonesia (GERKATIN) merupakan wadah kreativitas pemuda Tuna Rungu Solo yang terbentuk pada 2009 lalu. Agung “Tompel” seorang sutradara yang mempelopori kelompok ini, berhasil mengantarkan para penyandang difabel Tuna Rungu Solo untuk berekspresi dan berkarya seni khusunya dalam bidang sandiwara. Terbentuknya kelompok teater ini tentunya adalah media yang cocok untuk sarana berekspresi dan ajang pembuktian kepada masyarakat bahwa merekapun dapat melakukan sesuatu yang bermakna, sarat nilai, dan berestetika tinggi.   
            Agus (23) seorang Tuna Rungu asli Solo, menyatakan bahwa saat awal terbentuknya kelompok, dia merasa khawatir. Perasaan yang lebih menjurus terhadap  keraguan akan kemampuan dirinya. Tentunya beberapa teman sesamanya juga merasa demikian, berprasangka ketidaksanggupan terhadap dirinya sendiri. Namun, berkat peran serta dari berbagai pihak terutama seperti teman – teman dari kelompok teater Peron FKIP UNS, Deaf Voluntering Organization (DVO), dan pengurus GERKATIN cabang Solo yang senantiasa andil memberikan sumbangan tenaga maupun pikirannya. Dengan penggemblengan yang tidak mudah, proses yang begitu lama terbayar dengan hasil yang luar biasa. seluruh anggota penyandang disabilitas tersebut dapat keluar dari belenggu ketidakmampuannya. Mereka berekspresi dengan begitu yakin, semangat, dan percaya diri. Decak kagum dari berbagai pihak terutama aktifis teater begitu mengapresiasi penampilan kelompok teater yang spesial ini.
            Wadah kreativitas yang sangat positif, menstimulan para pemuda ini untuk bangkit, semangat, serta dapat menjadikannya lebih berhasrat dalam menjalani kehidupan. Salah satu titik terang dimana eksistensi mereka penyandang difabel, khususnya para Tuna Rungu di Solo mulai melebar. Sayap yang sejak dulu terlipat kini mulai membentang membuka hendak mengepak menerjang angkasa. Momentum sumpah pemuda kini dapat mereka isi dengan ekspresi – ekspresi polos inspriratif yang selalu menggugah hati setiap penontonnya.

Sepak Terjang
Proses latihan yang dilakukan secara berkala dari pertama kali terbentuk termasuk bersama teman – teman kelompok Teater Peron UNS, telah menelurkan 3 kali pementasan. Pementasan tersebut pertama digelar bersama sutradara pelopor kelompok GERKATIN, pertunjukan Of Sign Theatre oleh komunitas mahasiswa Fakultas Psikologi UNS berjudul Sudo Ora Sudo di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo pada 4 April 2013,  serta menjadi bintang tamu dalam kegiatan Festival Sandiwara Realis Pelajar (FSRP) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teater ISI Surakarta (HIMATIS) pada 3 November 2013 dengan sajian yang berjudul “Dongempi” atau akronim dari Dongeng Negeri Mimpi sebagai penutup acara.
Dua sajian terakhir tidak lepas dari kerja keras Sandhi Wardhana sebagai seorang sutradara yang telah memoles para anggotanya menjadi pemain sandiwara dengan ekspresi yang sempurna. Kesabaran, semangat, dan tujuan besar membuat semua tim yang mendukung seolah melaminasi kelompok penyandang disabilitas ini. Peran para anggota DVO dalam memandu dan mendampingi terutama kaitannya dengan komunikasi, sangat membantu menjembatani kelancaran dalam proses latihan maupun saat eksekusi pertunjukan. Para Tuna Rungu pada akhirnya dapat mengeksplorasi kemampuannya untuk dinikmati khalayak.
Tiga bulan berproses dalam “Kawah Candradimuka” memang bukan suatu yang gampang. Dikatakan demikian karena proses yang berkala tersebut dilakukan untuk satu karya sajian. Hal di atas dapat kita tafsir bahwa kesulitan baik para pemain maupun sutradara dan segenap crew-nya. Terutama dalam hal sinkronisasi dari maksud sutradara dengan implementasi yang dihasilkan oleh setiap anggota teater GERKATIN. Adit (23) seorang anggota DVO asal Bantul mengemukakan pengalamannya ketika mendampingi, salah tangkap terhadap maksud si sutradara seolah menjadi makanan pokok dalam setiap proses latihan mereka. Namun kerja keras dan keyakinan kuat dari seluruh teman – teman difabel serta pendukungnya, sehingga satu demi satu karya dapat diselesaikan dengan cukup baik. Akhirnya tiga pentas terakhir berbuah apresiasi dan tepukan tangan meriah tanda kepuasan dari para penontonnya. Artikel – artikel baik media masa maupun elektronik pada akhirnya seperti mendifusikan informasi keberadaan kelompok “sandiwara ekspresi” tersebut di masyarakat.

 Ekspresi Jadi Kunci
Aksi pemain teater GERKATIN Solo yang memukau di atas panggung memang titik tekannya ialah dalam penyampaian nonverbal dilakukan dengan cara maksimal. Pada konteks ini peran sutradara memberi komando layaknya dirigen yang menentukan mobilitas dan tugas dari masing – masing pemain pada setiap babak jalannya sajian. Dalam penyajiannya, memang hadir musik untuk mengiringi pertunjukan. Namun, sebenarnya musik berperan mengisi suasana dalam perspektif yang hanya dirasakan oleh penonton ataupun apresiator. Memang saat jalannya pertunjukan seoloah – olah mereka mengikuti dan merasakan musik. terjadi pemandangan “semu” karena sebenarnya musik yang mengikuti setiap gerakan dalam babak sajian. Tidak seperti pertunjukan teater pada umunya, karena semua elemen penyaji yang saling berhubungan. Pada teater anak difabel, musik mendukung sajian para pemain untuk memperindah pertunjukan terhadap penonton, sedangkan para pemain teater hanya memproyeksikan ekspresi kepada penonton tanpa memperdulikan sajian musik. Memang hal logis, saat Tuna Rungu memang mempunyai permasalahan dengan pendengarannya.
Keluar dari permasalahan kekurangan dalam fisik, mereka memiliki satu “ajian” memukau yang dilakukan oleh seperangkat tubuh, energi, gerak total, dan yang paling tampak sekaligus vital ialah ekspresi total mereka. Runtutan komando yang dikirim oleh sutradara diimplementasikan oleh masing – masing para difabel dengan kemampuannya yang bisa dikatakan telah mencapai virtuositas pemeranan yang dapat disejajarkan bahkan tidak menutup kemungkinan lebih dengan para pemain teater yang notabene memiliki fisik normal. Ekspresi seperti menjadi taring dalam mengoyak decak kagum penonton, menjadi senjata pembunuh caci makian dari orang – orang yang tak mampu mendalami arti anugerah. Kini mereka yang secara fisik “kurang” menjawab setiap pertanyaan yang berhubungan dengan eksistensi mereka. Para difabel Tuna Rungu Solo menjadi lebih percaya diri pasca pembuktiannya lewat sajian – sajian ekspresi penuh nilai, baik tekstual maupun konteks. Dari fenomena di atas masyarakat serta pemerintah dapat menilai dan mengambil “buah” perenungan untuk dapat lebih memberikan solusi serta ide mutakhir lain dalam menambah wadah yang menampung kreativitas, untuk mencetak para penyandang disabilitas yang berprestasi untuk bangsa. Salah satu titik yang telah dibuktikan oleh teater Gerkatin Solo yaitu kekuatan ekspresi menuju sebuah totalitas dalam berkarya seni.

Denis Setiaji
Mahasiswa Etnomusikologi

ISI Surakarta

Suara Politik Lingkungan Berisik

Suara  Politik, Lingkungan Berisik

Euphoria
            Terlihat belasan motor, tidak bahkan puluhan motor seolah merajai setiap jalan yang mereka lewati. Grrongg grooongg grongg gronggg, permainan pola interlocking atau “imbal – imbalan” dari suara knalpot menghantam setiap pendengaran yang dilewatinya. Asap mengapung menyempurnakan efek rumah kaca di sekitarnya. Bendera berlabelkan partai politik dikibaskan dengan penuh ambisi oleh mereka para pengendara penggedor semangat kampanye politik tahun ini.
Gleyer sana gleyer sini begitulah suasana kota Solo pada hari pertama masa kampanye pra pesta demokrasi yang perhelatannya pada 9 April mendatang. Pemandangan yang kerap disuguhkan oleh para “gleyerian” ini mungkin akan sering dijumpai selama masa kampanye. Suara knalpot yang meraung di jalan – jalan protokol menjadi suatu tanda dimulainya persaingan berbagai partai politik terutama agen rahasianya yang biasa kita sebut “tim sukses”. Lebih dari satu Partai dalam sehari melancarkan strategi politiknya untuk meraup pundi – pundi suara. Para tim sukses nampak tidak ingin menyiakan masa menebar benih aspirasi dengan memaksimalkan kegiatan kampanye. Konvoi sepeda motor menghiasi jalanan kota Solo yang begitu terik di siang hari. Atraksi gleyer pastinya tidak ketinggalan dan sepertinya memang menjadi senjata yang efektif dalam menarik perhatian masyarakat.

Kontradiksi
Media suara knalpot yang lazim digunakan suporter PERSIS Solo untuk menyemarakan pertandingan di Stadion Manahan, kini begitu fungsional serta keberadaanannya yang menimbulkan celah kontradiksi. Frekuensi suara knalpot yang dimodifikasi memiliki daya rambat suara yang cukup luas, sehingga dapat menjangkau perhatian masyarakat pada radius tertentu. Menguntungkan bagi para tim sukses dalam usaha mengeluarkan “taring” politik. Atmosfer Pemilihan Umum pun menjadi lebih “semarak”. Beberapa kelompok sepeda motor dengan permainan tarikan gasnya tersebar di berbagai titik belahan Kota Surakarta Hadiningrat. Suasana siang dengan terik yang menyengat kulit, begitu sempurna dengan teriakan knalpot yang terdengar dari sekumpulan motor yang lewat silih berganti. Namun, perlu diingat kembali semakin banyak praktisi gleyer di jalanan yang ikut menyemarakan kampanye, semakin berkurang pula pengguna knalpot standar. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan cita – cita para aparat lalu lintas dalam memperjuangkan ketertiban di jalan raya.
Kebisingan yang ditimbulkan gerombolan gleyer di jalanan sudah barang tentu menjadi polusi suara. Emisi gas yang ditimbulkan sedikit banyaknya menimbulkan ekses terhadap kondisi lingkungan. Aparat pemerintah dalam hal ini pihak Kementrian Lingkungan Hidup yang bekerja sama dengan menteri yang membawahi bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), telah membuat aturan mengenai penggunaan knalpot standar, yang muaranya menjadikan kebisingan dan emisi gas buang berlebih sebagai sebuah pelanggaran. Hal tersebut diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 48 Ayat 3 tentang ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor. Sanksi bagi pelanggarnya akan dijerat Pasal 285 Ayat 1 UULAJ. Namun, aturan di atas sepertinya menjadi pengecualian dalam waktu – waktu tertentu, salah satunya masa perebutan aspirasi para Partai Politik seperti sekarang ini.



Ironi pengharapan
Sehari sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah melaksanakan Deklarasi Kampanye Berintegritas dengan tema Suara untuk Indonesia di Lapangan Monas, Sabtu (15/3). Acara yang digelar serentak seluruh Indonesia ini sekaligus menandai dibukanya kampanye rapat umum Pemilu 2014, yang dijadwalkan pada 16 Maret hingga 5 April 2014. Kampanye dengan wacana “integrasi” di dalamnya, seperti menjadi suatu keharusan. Integrasi yang menjadi cita – cita KPU melalui suara rakyat, pesta demokrasi yang diawali dengan mutu sehingga memiliki potensi dan kemampuan, memancarkan kewibawaan serta menjunjung tinggi kejujuran adalah do’a yang harus diraih dengan kerja keras bersama. Masyarakat memang berharap Pemilu tahun ini bisa lebih berkualitas sehingga mencetak kader – kader yang mumpuni dalam memimpin negeri dan sarat akan integritas sebagaimana diwacanakan oleh KPU.
Namun, apakah kampanye dengan bermodal polusi dan ber-“produk” ekses merupakan salah satu bentuk dari kampanye berintegritas? Mungkin para pimpinan dan pemikir di atas dapat menjawab pertanyaan tersebut bahkan bisa saja hanya dianggap sebagai pertanyaan retoris. Kampanye dengan merusak lingkungan, mengganggu ketertiban, menonaktifkan aturan secara sementara begitu terlihat dengan antusias yang tinggi. Inilah cara masyarakat kita dalam berpesta demokrasi. Sing penting gayeng, sing penting rame, konsep yang tidak dilandasi dengan adanya proses dialektika sehingga untuk satu kepentingan kadang tidak terasa telah menerobos nilai – nilai lain yang mestinya tetap harus diindahkan.

Pergeseran pikir
Bising yang dimaknai polusi kini menjadi media penyuara politik pada masa kampanye. Asap knalpot yang membuat suhu lingkungan semakin naik berbanding lurus dengan suasana panasnya persaingan di antara Partai Politik. Bunyi keras yang memecah keramaian bahkan dapat mengganggu pendengaran dipandang cocok untuk dijadikan sebagai sarana menyampaikan aspirasi. Kini suara noise menjadi wacana politik yang tidak bisa lepas adanya oleh para Juru Kampanye (JURKAM). Polusi suara yang mengganggu pendengaran dan ketertiban serta gas emisi knalpot yang merusak lingkungan seakan diberi kesempatan untuk selalu hadir pada masa kampanye. Tidak ada yang menegur, mungkin karena ini momen pesta demokrasi dan menjadikan keberadaan terebut sebagai pengecualian.

Esensi dan pemikiran mutakhir dalam menjawab persoalan negeri mungkin yang menjadi fokus para “pabrik” pencetak pemimpin di negeri ini. Namun tidak dapat dilupakan bahwa dalam berpolitik apapun kita tidak terlepas dari adanya dimensi ruang yang tetap harus dijaga eksistensinya. Hal kecil sepertinya, akan tetapi dari persoalan kecil pembenahan bangsa ini seharusnya dimulai. Seperti problematika rakyat kecil yang tak kunjung terselesaikan.