etnomusikologi 2011

etnomusikologi 2011
makrab '11

Selasa, 22 Mei 2012

Sejarah dan nilai tembang Cianjuran





KARYA TULIS ILMIAH
UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
BAHASA INDONESIA
”SEJARAH DAN NILAI PADA SENI TEMBANG CIANJURAN”


Dosen Pengampu : Ana Rosmiati

Oleh
Denis Setiaji
11112115
ETNOMUSIKOLOGI 2011



INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA


BAB l
                                                              PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN          
            Dewasa ini di dunia, popularitas dari musik art barat memang tidak dapat dipungkiri lagi sangatlah berkembang pesat. Musik art barat seakan – akan kiblat utama dari musik khususnya untuk para generasi muda. Tak terkecuali generasi muda Indonesia, mereka begitu mengelu-elukan musik genre barat. Hal ini menyebabkan  banyak yang mulai melupakan tradisi – tradisi musik daerah yang merupakan jati diri bangsa. Musik barat telah dianggap lebih indah dan bermakna sesuatu untuk setiap penikmatnya. Seiring dengan hal diatas tentunya berbanding terbalik dengan keyataan terhada eksstensi seni tradisi kita yang lambat laun mulai sedikt dilupakan. Tak terkecuali seni Tembang Cianjuran yang kita miliki, eksistensnya pun sedah mulai terkikis. Tembang Cianjuran dianggap musik yang kuno, membosankan,dan kurang modern. Namun sebenarnya banyak nilai-nilai luhur dalam Tembang Cianjuran yang tentu tidak terdapat dalam music art barat.
            Tembang Cianjuran merupakan cita rasa sunda yang menjadi ciri bangsa Indonesia dan memiliki estetika tidak kalah dengan musik art barat. Disamping itu, juga memiliki nilai-nilai luhur yang mungkin tidak dimiliki oleh music art barat. Nilai-nilai luur inilah yang harus dipelihara dan lestarikan. Apabila diresapi banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari penyajian teks tembang.


1.2 PERUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimanakah sejarah Tembang Cianjuran?
1.2.2 Bagaimanakah nilai-nilai yang terkandung dalam rumpaka Tembang Cianjuran?


1.3 TUJUAN
            1.3.1 mendeskripsikan sejarah Tembang Cianjuran.
            1.3.2 menemukan nilai-nilai estetik dalam rumpaka Tembang Cianjuran.
1.4 MANFAAT
            Manfaat praktis
            Masyarakat dapat lebih memahami unsur-unsur estetik dari musik maupun rumpaka Tembang Cianjuran.
            Manfaat teoritis
            Menambah informasi terhadap kajian Tembang Cianjuran mengenai estetika Tembang Cianjuran.
1.5 PENEGASAN JUDUL
            Karya tulis ini mengarah kepada mendeskripsikan Tembang Cianjuran, mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam rumpaka serta mendeskripsikan historis dari Tembang Cianjuran.
1.6 HIPOTESIS
            1.6.1 Tembang Cianjuran merupakan lokal genius yang telah ada sejak masa lampau.
            1.6.2 Rumpaka pada Tembang Cianjuran berisi nilai-nilai yang mengarah kepada kebajikan.
1.7 SISTEMATIKA PENYAJIAN
            Sistematika penyajian karya tulis ini sebagai berikut:


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN          
1.2 PERUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN
1.4 MANFAAT
1.5 PENEGASAN JUDUL
1.6 HIPOTESIS
1.7 SISTEMATIKA PENYAJIAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
2.2 LANDASAN TEORI
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 PENGUMPULAN DATA
3.2 ANALISIS DATA
3.3 PENYAJIAN HASIL ANALISI DATA
BAB IV
SEJARAH TEMBANG CIANJURAN
BAB V
NILAI-NILAI DALAM RUMPAKA TEMBANG CIANJURAN
BAB VI
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
6.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
            Tembang Cianjuran dewasa ini sering dibicarakan oleh pakar-pakar budaya khususnya budayawan sunda. Banyak juga yang sudah mengkaji serta menjadikan tulisan baik artikel, skripsi, disertasi, bahkan buku. Seperti yang telah di tulis oleh Kalsum “Nasihat dan Doa dalam Rumpaka Tembang Cianjuran”. Selain itu tentang Tembang Cianjuran juga diulas dalam buku berjudul “ Gending Sekar” karya iwan natapradja(2003). Iwan natapradja(2003) mengulas tentang kesenian kasundaan dari mulai patet, notasi degung, sistem penotasian dan segala bentuk pakem musik tradisi karawitan sunda serta kesenian-kesenian lain yang bercabang dari pakem karawitan termasuk didalamnya Tembang Cianjuran.
2.2 LANDASAN TEORI
Landasan teori yang digunakan dalam karya tulis ini diambil dari beberapa pendapat para penulis yang telah mengkaji historis dan rumpaka Tembang Cianjuran. Galba(2007) mengemukakan kesenian tradisional masyarakat Cianjur berikut sejarah seni mamaos berganti nama menjadi Tembang Cianjuran. Berkaitan dengan itu pula pergantian nama seni mamaos merupakan hasil perundingan masyarakat pasundan pada masa pemerintahan dalem pancaniti. Kalsum(2007) mengkaji isi rumpaka dari Tembang Cianjuran yang berisi nasihat serta doa baik yang kaitannya dengan manusia (hablum minannas) maupun dengan tuhan yang maha kuasa (hablum minallah). Kalsum juga mengemukakan bahwa rumpaka nasihat dan doa terdapat 14,5% dari jumlah lagu; dilihat dari sejarah sastra maupun sejarah tembang.





BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 PENGUMPULAN DATA
            Data-data perumusan karya tulis ini dikumpulkan melalui studi pustaka. Informasi diambil dari buku primer dan makalah serta media informasi internet sebagai referensi tambahan.
3.2 ANALISIS DATA
            Analisis data dilakukan pada bab pokok bahasan berikutnya.
3.3 PENYAJIAN HASIL ANALISI DATA
Penyajian hasil analisis data dilakukan secara deskriptif dari tataran yang terendah sampai yang tertinggi. Pemaparan hasil analisis data dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan metode formal dan metode informal. Bentuk pemaparan dengan metode formal, yaitu menuliskan hasil analisis dengan cara menuliskan dengan kalimat secara ortografis serta digunakan lambang-lambang atau kode-kode dalam linguistik. Bentuk pemaparan dengan menggunakan metode informal, yaitu menuliskan dengan kata-kata dan kalimat ortografis tanpa menggunakan lambang-lambang atau kode-kode tertentu.








BAB IV
SEJARAH TEMBANG CIANJURAN
  • Sekar
            Sekar merupakan seni suara dari vokal manusia (janaswara).  Sekar dibagi menjadi dua golongan utama yang menjadi dua tiangnya seni suara sunda. Seluruh perbendaharaan seni suara termasuk kedalam dua golongan ini. Kedua golongan besar itu adalah Sekar tandak dan Sekar Wirahma merdeka.
            Sekar tandak merupakan jenis lagu yang memiliki irama atau ritme yang tetap (tandak  artinya tetap) dalam istilah art barat disebut rhythmical song. Sekar tandak dalam istilah popular disebut kawih. Tembang Cianjuran termasuk kedalam golongan keluarga lagu sekar tandak karena pola lagunya memiliki irama (Wirahma) atau ketukan yang tetap. Sekar tandak biasa dibawakan secara anggana (solo vokal) dan secara rampak sekar (vokal grup). Contoh penyajian sekar tandak misalnya pada Tembang Cianjuran, gending karesmen, panambih pada pupuh, sindhenan serta jenis kakawihan lainnya.
            Sekar wirahma merdeka adalah golongan lagu yang tidak memiliki ketukan, berirama bebas tetapi ada aturan panjang-pendek tertentu yang tidak bisa dituliskan dengan sistem titilaras[1] atau secara pakem dalam karawitan sunda. Penentuan panjang-pendeknya satu nada hanya bisa diajarkan secara lisan verbal atau oral dari seorang guru ke murid. Inilah yang pada dunia seni suara sunda disebut tembang dan di jawa disebut macapat (Natapradja:2003).
            Pada kenyataannya walaupun disebut Tembang Cianjuran namun bukan termasuk kedalam jenis sekar wirahma merdeka . Tembang Cianjuran merupakan golongan sekar tandak atau biasa disebut kawih. Penamaan “tembang” hanyalah lazimnya orang sunda menyebut jenis kawih ini. Jadi, jangan terjebak dengan penamaan “tembang” pada Tembang Cianjuran.


  • istoris Tembang Cianjuran
            Kesenian Tembang Cianjuran telah ada sejak zaman kolonialisme yang datang ke nusantara. Di tempat kelahirannya Cianjur,sebenarnya nama kesenian ini adalah mamaos. Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan dikukuhkan tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan atau rebab. Mamaos terbentuk pada masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat (1834-1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng Pancaniti. Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal ituTerbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah (kurnia:2003)
Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang. Keduanya menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun demikian pada akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan. Lagu-lagu papantunan pun banyak yang dibuat dengan aturan pupuh.
Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun. Rumpaka lagunya pun mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.
.
Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864-1910) kesenian mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853-1928) adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) dan RAA. Wiranatakoesoemah (1920-1921 & 1935-1942). Ketika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur. Demikian pula ketika radio NIROM Bandung tahun 1930-an menyiarkan kesenian ini menyebutnya dengan Tembang Cianjuran (kurnia:2003).
Pemain kesenian yang disebut sebagai Tembang Cianjuran terdiri atas: seorang pemain kacapi indung yang tugasnya adalah memberi pasieup, narangtang, pangkat lagu, dan memngiri lagu baik mamaos mamupun panambih; satu atau dua orang pemain kacapi rincik yang bertugas membuat hiasan pada iringan kacapi indung ketika penembang membawakan panambih; sementara yang satunya lagi bertugas sebagai anggeran wilatan (memberi batasan-batasan ketukan); seorang pemain suling yang bertugas membuat hiasan-hiasan lagu di sela-sela kekosongan sekaran (vokal) dan memberi lelemah sore (dasar nada); dan penembang yang membawakan berbagai jenis lagu mamaos cianjuran. Sebagai catatan, lagu panambih hanya dilantunkan oleh penembang wanita. Adapun busana yang dikenakan oleh pemain laki-laki adalah baju taqwa, sinjang (dodot), dengan benggol sebagai aksesorisnya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh para pemain wanitanya adalah: kebaya, sinjang, dan selendang (Galba:2007).
Fungsi kesenian yang disebut sebagai Tembang Cianjuran adalah sebagai hiburan. Sedangkan, nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya sekedar estetika semata, tetapi juga kerjasama dan kreativitas. Nilai kerjasama tercermin dalam suatu pementasan. Dalam hal ini jika penembang laki-laki beristirahat, maka penembang perempuan tampil mengisinya. Dengan demikian, suasana tidak vakum tetapi berkesinambungan. Nilai kreativitas tidak hanya tercermin dari keterampilan para pemainnya dalam sisindiran, tetapi juga dalam pengadopsian jenis-jenis kesenian lain (degung) tanpa menghilangkan rohnya (jatidiri kesenian mamaos cianjuran).
Namun dewasa ini kehebatan dan keindahan dari seni Tembang Cianjuran sudah mulai melemah tergerus arus globalisasi. Hal itu tercermin dari kurangnya nara sumber, tingkat apresiasi masyarakat yang semakin kurang dan enggannya generasi muda untuk mempelajarinya karena dianggap sebagai kuno atau kampungan. Mereka lebih menyukai jenis-jenis kesenian kontemporer.
BAB V
NILAI-NILAI DALAM RUMPAKA TEMBANG CIANJURAN
  • Nasihat dan Doa
Rumpaka dalam istilah Indonesia merupakan teks dari lagu, atau syair-syair dalam lagu. Dalam rumpaka Tembang Cianjuran berisi nilai-nilai seperti nasihat dan doa. Nasihat dan doa ini dilihat dari sudut komunikasi memiliki kemiripan yakniadanya tujuan pengungkapan yang disampaikan pada pendengar. Nasihat adalah harapansupaya isi pesan rumpaka sampai kepada pencengar dan doa, harapan yang dipohonkan kepada Tuhan.
Rumpaka digubah oleh seorang penggubah, selanjutnya ditembangkan oleh sejumlah penembang/ juru mamaos/juru tembang. Dalam hal ini juru tembang setuju dengan isi rumpaka kemudian ingin menyampaikannya kembali kepada pendengar, termasuk pula rumpaka yang berisi doa. Penembang pada umumnya memilih pula isi kandungan dari rumpaka. Apabila nasihat dilihat dari segi saling menasihati antar-manusia dan permohonan doa disampaikan kepada Tuhan, keduanya berada dalam wilayah religius. Nasihat merupakan
Hablum Minanas dan Doa merupakan Hablum Minallah. Amanat yang disampaikan melalui
lantunan tembang terasa lebih hidmat baik dirasakan oleh penembang maupun didengar oleh
penikmat.
Dilihat dari segi historis, unsur nasihat dan doa yang berada dalam wilayah religius ini
memiliki kedudukan penting pada Rumpaka Tembang Cianjuran. Perintis awal Tembang
Cianjuran adalah Dalem Pancaniti, seorang taat beragama, bahkan ada yang menganggap ”Alima al-alamah (ulama pandai), mencapai Waliyullah ((Su’eb, 1997: 36). Pernyataan tersebut sejalan
dengan keterangan yang disampaikan oleh Dadan Sukandar bahwa sebelum tahun
enampuluhan Tembang Cianjuran mengusung tentang hal keteladanan. Bukti-bukti itu tersirat
pula pada sebuah pada pupuh Sinom Liwung yang diterima oleh R. Bakang Abubakar dari
gurunya pada tahun 1949 sebagai berikut:


Sinom pamekaring rasa
Rasa Suci kang diwincik
racikan ungkara basa
basa pamekaring budi
budi daya nastiti
nutur galuring luluhur
babaran kaelingan
digending dirakit dangding
komaraning daya sastra Kasundaan
(Ischak, 1988: 63)
Sinom pemekar rasa
yang dibahas, Rasa Suci
jalinan bahasa
bahasa pemekar budi
budi yang tangguh karena kehati-hatian
mengikuti jejak leluhur
tentang keimanan
dijadikan tembang digubah dangding
kewibawaan dari kekuatan sasat r
Kasundaan


Diperkirakan rumpaka ini telah ada jauh sebelum tahun 1949. Dalam pupuh ini ada tanda
yang kuat yakni Rasa Suci, Rasa Suci mengacu kepada Inti Kedirian manusia yang
dianugrahkan Tuhan yakni Nurullah atau disebut juga Badan Rohani (Lihat dalam Wawacan
Jaka Ula Jaka Uli). Kata kedua yakni babaran kaelingan ’pembahasan tentang keimanan’.
Pengertian eling ’iman’ dalam naskah-naskah ajaran Teosofi Tasawuf adalah Manunggaling
kaula-Gusti. Menghadirkan Allah di dalam Badan Rohani’ Pupuh ini berceritera tentang
ajaran keimanan yang menuntun manusia ke arah kebahagiaan lahir dan batin. Namun
apabila dihubungkan dengan judul lagu yakni Liwung, tidak sesuai. Dengan demikian
diperkirakan ada lagu pemakai rumpaka ini sesuai isi. Dilihat dari rumpaka di atas, jelaslah
kekuatan dari kesusastraan Sunda pada suatu masa, dilihat dari segi bobot isinya (kalsum:2007)
            rumpaka-rumpaka lain Tembang Cianjuran yang diambil dari rumpaka pupuh yang berisi nasihat serta mengarah pada kebajikan antara lain :


Pucung Degung
Lamun urang boga maksud kudu junun
kahayang jeung prakna
mun sakadar dina hate
eta mubah moal rek aya buktinya.     (Sobirin, 1987: 46)

Apabila bercita-cita sesuatu harus tabah
berkeinginan dengan bekerja
apabila sekadar niat di hati
sia-sia tak akan ada hasilnya


Naratas jalan

Geura bral geura mariang
geura prak naratas jalan
teangan kasugemaan
enggoning keur kumelendang
kumelendang masing yakin
dibarengan kaimanan
yakin kana pamadegan
tangtungan wanda sorangan
tapi poma 2x lain laku kaangkuhan.
Kaangkuhan anu mawa
kana jalan kaambrukan
hirup teh lain sorangan
loba pisan nu marengan
keur urang silih tulungan
lain eukeur pacengkadan
nu taya hartina pisan
nimbulkeun pondok harepan
ilang akal keur ngudag-udagan urang
(Sobirin, 1987: 85)

Silakan berangkatlah
buka jalan
cari kepuasan
selama berkelana
dalam berkelana disertai keyakinan
disertai keimanan
yakin pada pendirian
keyakinan hati nurani
namun janganlah disertai keangkuhan
Keangkuhan membawa
ke jalan kebinasaan
(sadari) hidup tidak sendiri
banyak sekali sesama manusia
untuk saling tolong-menolong
bukan untuk berselisih
yang tak bermanfaat
yang menimbulkan pendek pikiran
kehilangan akal yang akan menyertai kita



Naratas Jalan Surupan Pelog, pupuh Sinom. Kedua bait merupakan kesatuan yang
mendukung pada judul Naratas Jalan ’Membuka Jalan’. Apabila dikaitkan dengan
penggunaan pupuh, ”membuka jalan” pada konteks ini, memiliki makna membuat pijakan
hidup dalam mencari kebahagiaan untuk diteladani oleh orang-orang kemudian. Teks
Naratas Jalan dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani
kehidupan.Rumpaka ini mengemukakan bahwa hidup dengan sesama untuk saling tolong-menolongbukan untuk berselisih. Teks hipogram dalam pupuh Pucung seperti berikut: Utamana jalmakudu rea batur, keur silih tulungan, silih asih silih bere, budi akal lantaran ti pada jalma.
’Yang paling utama orang harus memiliki kawan banyak, untuk saling menolong, saling
memberi, budi dan akal melalui sesama manusia.’(Kalsum:2007).
            Rumpaka-rumpaka diatas merupakan sebagian kecil contoh dari Tembang Cianjuran yang selalu memiliki intisari kebajiakan, nasihat, doa, dan mengajak manusia untuk mencapai kemuliaan. Selain diatas ada pula cirebonan ‘bermakna manusia harus sigap dalam melakukan kebaikan’, ceurik abdi’menceritakan bahwa di dunia semua hal selalu berpasangan’, sinom bungur’mengingatkan pada manusia dalam berkehidupan tidak bisa sewenang-wenang serta egois’, pangrawit’ dalam berkehidupan manusia harus tahu mana yang benar dan yang salah serta selalu menjaga diri’ dan masih banyak rumpaka pupuh lainnya.
            Sudah dapat dipastikan bahwa Tembang Cianjuran sangat mengarah dan mengajarkan manusia sebagai mahkluk yang bermoral. Membimbing kepada kebaikan, saling mendoakan antar sesama, menjaga kelestarian alam, dan permohonan kepada sang pencipta. Hal ini tentunya jarang sekali ditemukan pada teks lagu populer zaman sekarang. Teks dalam gubahan lagu populer kebanyakan menceritakan mengenai realita percintaan anak remaja, putus cinta, perselingkuhan, pengorbanan cinta, pacaran, dan segala sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan remaja zaman sekarang.
 

BAB VI
PENUTUP
6.1. KESIMPULAN
            Tembang Cianjuran telah ada sejak masa pemerintahan pada zaman penjajahan. Kesenian ini adalah karya orsinil dari masyarakat Indonesia khususnya orang sunda. Tembang Cianjuran merupakan karya seni yang berkaitan erat dengan pakem karawitan sunda. Rumpaka atau teks lagu pada Tembang Cianjuran berisi nasihat, do’a, dan segala sesuatu yang mengajak manusia dalam hidup di dunia selalu berada di jalan yang lurus yaitu jalan yang di ridhai Tuhan sang pencipta. Namun dewasa ini Tembang Cianjuran yang dulu sangat fenomenal dikalangan bangsawan sudah mulai tergerus oleh arus globalisasi dan generasi muda yang semakin kurang berminat serta peduli untuk melestarikan salah satu kekayaan bangsa Indonesia ini.
6.2. SARAN
            Penulisan karya tulis ini tentunya masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang diberikan akan sangat berharga bagi penulis untuk menyempurnakan kajian penulisan karya tulis ini di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Galba, Sindu. 2007. Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur.
Kalsum. 2007. Nasihat dan Doa pada Tembang Cianjuran.
Natapradja,Iwan. 2003. Sekar Gending. Bandung:Karya Cipta Lestari.
Sobirin, 1987. Lagu-Lagu Mamaos Tembang Sunda Laras Pelog dan Sorog : Stensilan.
Su’eb, Ace Hasan. 1997. Wawasan Tembang Sunda. Bandung : Geger Sunten.


[1] Titilaras merupakan sistem pelarasan/aturan pakem dalam karawitan sunda.

1 komentar:

  1. bang, kalo boleh tau , referensinya beli dimana ya? saya butuh semua buku yang jadi referensi artikel ini.

    BalasHapus