etnomusikologi 2011

etnomusikologi 2011
makrab '11

Rabu, 23 Mei 2012

bangunan ilmu


BANGUNAN ILMU
Oleh Bambang Sunarto
Detaser Ditjen Dikti Kemendiknas
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Abstrak
Artikel ini membahas konstruksi dan sistem ilmu secara ringkas. Tujuannya adalah untuk membantu para calon peneliti dan ilmuwan mengetahui persoalan dasar dalam membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang menjadi minatnya. Elemen-elemen anatomis yang menjadi unsur penentu bangunan ilmu dipaparkan secara deskriptif di dalam artikel ini, di antaranya (1) objek ilmu, (2) bentuk-bentuk pernyataan ilmu, (3) isi pernyataan ilmu, (4) ciri pokok ilmu, dan (5) pembagian sistematis ilmu. Pengetahuan ini berguna bagi para peneliti dan para ilmuwan muda sebagai dasar filosofis dalam membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang menjadi minatnya. Konsistensi dalam mengikuti pemahaman tentang bangunan ilmu ini akan membantu mereka menghasilkan karya ilmiah yang sistematis, yang mampu menggambarkan eksistensi pengetahuan ilmiah yang dipelajari atau dirumuskannya secara benar.

A.    Pembuka

Pengetahuan dapat dipilah dalam dua kategori, yaitu (1) pengetahuan yang berasal dari manusia sendiri, dan (2) pengetahuan dari Tuhan. Namun harus diakui bahwa ada juga kelompok manusia yang tidak percaya adanya Tuhan, tidak percaya terhadap adanya pengetahuan jenis kedua ini. Mereka adalah orang-orang yang menganut paham materialisme.
Pengetahuan yang berasal dari manusia sendiri adalah pengetahuan yang didapat manusia melalui (1) persentuhan dengan objek-objek terindera, (2) proses berfikir, (3) proses berimajinasi. Pengetahuan yang berasal dari Tuhan adalah pengetahuan yang datangnya dari Tuhan, dan pengetahuan itu disebut wahyu. Pengetahuan yang berasal dari manusia adalah pengetahuan yang ada sebagai hasil pemikiran manusia. Pengetahuan yang datangnya dari Tuhan membentuk agama. Pengetahuan dari manusia membentuk kebudayaan.
Pengetahuan yang berasal dari manusia dapat pula dipilah menjadi tiga kategori, yaitu (1) pengetahuan indera, (2) pengetahuan ilmu (biasa disebut pengetahuan ilmiah), dan (3) pengetahuan filsafat. Pengetahuan indera adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses penginderaan. Pengetahuan indera diperoleh melalui proses melihat, mendengar, merasa, meraba, dan mencium suatu objek. Jadi, pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman panca-indera, dan dari pengalaman indera masuk ke proses pemikiran dan langsung menjadi pengetahuan.
Pengetahuan ilmu atau pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan dengan konstruksi sistematis yang diperoleh dari berfikir sistematis, didukung penelitian dengan metode rasional yang dapat dipertanggungjawabkan. Pengetahuan ilmu dirumuskan, dinyatakan, dan diungkapkan oleh ilmuwan. Sejajar dengan pengetahuan ilmu ada pengetahuan seni. Pengetahuan seni adalah pengetahuan tentang nilai-nilai dan sistem artistik yang diperoleh melalui proses imajinasi dan berfikir spekulatif. Proses imjinasi dan berfikir spekulatif dilakukan oleh seniman, dan pemikiran itu dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang terumuskan dan tersusun sebagai hasil dari proses berfikir yang spekulatif dan radikal.
Di dalam kehidupan sehari-hari, pengetahuan indera atau pengetahuan yang diperoleh melalui proses penginderaan disebut ‘pengetahuan’ saja. Dalam bahasa Inggris pengetahuan jenis ini disebut knowledge. Pengetahuan yang diperoleh dari berfikir sistematis yang didukung penelitian umumnya disebut ilmu. Pengetahuan ini dalam bahasa Inggris disebut science. Pengetahuan yang terumuskan dan tersusun sebagai hasil dari proses berfikir yang spekulatif dan radikal disebut filsafat.

1.      Batas Pengetahuan

Wilayah jangkauan pengetahuan indera adalah segala sesuatu yang dapat disentuh oleh panca indera secara langsung. Pengetahuan indera sampai pada segala sesuatu yang tidak lagi tertangkap oleh panca indera. Wilayah jangkauan ilmu adalah segala sesuatu yang dapat diteliti manusia. Batasnya sampai pada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian. Wilayah jangkauan dari pengetahuan filsafat adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh nalar atau pikiran manusia, yang alami dan nisbi (relatif dan terbatas). Batasnya adalah alam dan atau segala realitas makhluk ciptaan Tuhan.
Perbandingan di atas menunjukkan bahwa wilayah pengetahuan indera adalah sempit, hanya meliputi sesuatu, sepanjang sesuatu itu dapat dijangkau oleh mata, telinga, hidung, kulit (rabaan), dan lidah secara langsung, tanpa bantuan dan perantaraan alat. Kedudukan pengetahuan indera sangat penting karena merupakan pengetahuan langsung, pengetahuan pertama yang dimiliki oleh setiap orang. Pengetahuan ini dapat menjadi salah satu pijakan untuk melangkah kepada pencapaian pengetahuan ilmu.
Ilmu bertugas menjangkau apa yang berada di balik pengetahuan indera. Ilmu menjawab berbagai pertanyaan yang datang dari pengalaman indera. Seperti misalnya pertanyaan, mengapa awan berubah menjadi titik-titik air, dari mana datangnya awan, mengapa titik-titik air menghilang begitu sampai di tanah, mengapa terbentuk aliran-aliran air setelah hujan, ke mana perginya aliran-aliran air setelah hujan reda, mengapa air jatuhnya ke tanah dan bukan ke langit, dan seterusnya.
Ilmu mengatasi persoalan di mana panca indera sampai pada batas kemampuannya. Ketika pengetahuan panca indera sudah tidak lagi mampu menjawab pertanyaan mengenai sesuatu yang berada di balik pengetahuan indera, maka diperlukan ilmu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Untuk sampai pada pengetahuan ilmu, diperlukan bantuan otak dan fisik untuk menyelesaikannya. Otak berfikir dan fisik mengumpulkan data-data. Otak memikirkan data-data yang dikumpulkan oleh fisik. Selama otak dan fisik dapat bekerja sama melakukan penelitian, di sana lahir ilmu pengetahuan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat diselesaikan oleh indera.
Apabila dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul fisik kita tidak mampu mencari, mengumpulkan, dan menyediakan data-data untuk dipikirkan oleh otak, oleh pikiran, maka pertanyaan itu diserahkan oleh sepenuhnya kepada otak untuk menyelesaikannya. Pertanyaan itu diserahkan kepada pikiran, kepada budi nurani untuk menjawabnya sendiri. Jika pikiran mulai bekerja sendiri, maka jawabannya mulai meninggalkan wilayah ilmu, dan masuk ke wilayah filsafat. Bertolak dari hasil-hasil yang diproduksi oleh ilmu, bekerjalah otak seorang filsuf untuk menyelesaikan persoalan yang tak terselesaikan oleh ilmu. Apa yang dibicarakan adalah segala sesuatu yang tidak dapat diteliti, tetapi dapat dipikirkan, sehingga filsafat merupakan bidang yang teramat sangat luas.

2.      Sistem Pengetahuan Ilmu    

Pada dasarnya, semua pengetahuan miliki konstruksi. Pengetahuan indera ada konstruksinya, pengetahuan ilmu, memiliki konstruksi sendiri, demikian pula dengan pengetahuan filsafat. Di atas dikatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan dengan konstruksi sistematis yang diperoleh dari berfikir sistematis, di dukung penelitian dengan metode rasional yang dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan itu menunjukkan bahwa ilmu merupakan suatu sistem pengetahuan, yang berfungsi sebagai (1) dasar teoretis suatu tindakan praktis, atau (2) penjelasan sistemik mengenai saling hubung peristiwa-peristiwa yang terjadi. Jadi, hakikat ilmu adalah kumpulan pengetahuan sistematik yang terdiri dari unsur bentuk pernyataan ilmu -unsur yang saling terkait sehingga dapat menjadi dasar teoretis dan/atau dapat memberi penjelasan suatu persolalan. Saling kait unsur-unsur pengetahuan itu merupakan suatu konstruksi terstruktur ilmu. Konstruksi ilmu sekurang-kurangnya tersusun atas lima kelompok unsur, yang terdiri dari (1) objek ilmu, (2), bentuk-bentuk pernyataan ilmu, (3) ragam proposisi ilmu, (4) ciri-ciri pokok ilmu, dan (5) pembagian sistematis ilmu.

B.     Objek Ilmu

Setiap ilmu, sebagaimana dijelaskan di atas selalu eksis dengan sistem pengetahuan ilmu. Salah satu unsur sistem pengetahuan ilmu adalah objek ilmu. Berarti, apapun nama ilmu itu, selalu mempunyai objek atau sasaran. Objek atau sasaran setiap ilmu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) objek material, dan (2) objek formal.
Objek material adalah fenomena dunia yang ditelaah, dikaji, dan dipelajari oleh ilmu. Objek formal adalah pusat perhatian, focus of interest, sentral masalah yang menjadi sasaran telaah yang dilakukan ilmuwan terhadap fenomena dunia yang menjadi objek material. Pertemuan atau penggabungan antara objek material dan objek formal pada hakikatnya menjadi pokok persoalan yang dikaji dan dibahas ilmuwan sehingga akhirnya menghasilkan pengetahuan ilmiah tertentu.

1.      Objek Material

Klubertanz (1955: 4) menyatakan bahwa objek material menunjuk pada pokok persoalan suatu pengetahuan tertentu, terutama dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi yang dapat dibuat mengenai pokok persoalan itu. Kata sifat ‘material’ tidak dimaksud untuk menunjukkan adanya materi di dalam susunan suatu pokok persoalan suatu ilmu. Kata ‘material’ di gunakan di sini cenderung untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dibentuk berdasarkan bahan-bahan atau materi-materi tertentu, mirip bahan atau materi yang digunakan oleh seniman atau tukang dalam mencipta sesuatu. Jika, seniman atau tukang dalam mencipta karya atau membuat sesuatu menggunakan bahan-bahan atau materi-materi sebagai dasarnya, maka ilmuwan di dalam membuat atau merumuskan pengetahuan ilmiah atau ilmu juga menggunakan bahan-bahan atau materi-materi tertentu sebagai dasarnya.
Pada hakikatnya, bahan-bahan atau materi-materi yang digunakan oleh ilmuwan sebagai dasar untuk merumuskan pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan adalah fenomena dunia yang tergelar di hadapan kesadarannya. Jadi, objek material adalah suatu sasaran kajian atau telaah ilmu yang berupa fenomena dunia yang dijadikan bahan atau materi untuk menghasilkan pengetahuan ilmu. Jumlah fenomena dunia yang ditelaah oleh berbagai  bidang ilmu adalah tak terhingga, sejalan dengan tumbuhnya cabang-cabang dan ranting-ranting ilmu. Namun, sesungguhnya fenomena-fenomena dunia yang tak terhingga banyaknya itu dapat dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu (1) ide-ide abstrak, (2) benda-benda fisik, (3) jasad hidup, (4) gejala-gejala rohani, (5) peristiwa-peristiwa sosial, dan (6) proses tanda.
Contoh fenomena yang termasuk dalam kategori ide abstrak adalah konsep bilangan atau konsep tawajuh (dalam komunitas Nahsabandiyah), konsep puasa, konsep pasar, konsep artistik dan seterusnya. Contoh fenomena yang termasuk kategori benda-benda fisik adalah gunung berapi, air bah, tsunami, dan seterusnya. Contoh fenomena yang termasuk kategori jasad hidup adalah manusia, burung, ulat bulu, jamur, berbagai jenis pepohonan, dan seterusnya. Contoh fenomena yang termasuk kategori gejala rohani adalah ingatan, kemunafikan, kejujuran, ketafaquhan, ghiroh, dan lain-lain. Contoh fenomena yang termasuk kategori peristiwa sosial adalah pemerintahan, jual beli di pasar, pergaulan di kampus, di sekolah, di kantor, di masjid, di surau, di kampung dan seterusnya. Adapun contoh fenomena yang termasuk dalam kategori proses tanda adalah bahasa, karya seni, tanda tangan, air mata, dan seterusnya.
Perkembangan ilmu terkini menunjukkan bahwa kita banyak menemukan berbagai ilmu pengetahuan yang pokok persoalan atau objek materialnya sama. Kedokteran, psikologi, sosiologi, dan antropologi, misalnya, adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang mempunyai pokok persoalan atau objek material yang sama, yaitu manusia. Semua ilmu itu, baik kedokteran, psikologi, sosiologi, maupun antropologi berusaha dan bermaksud menemukan, mengetahui, mengungkap, menjelaskan dan memanfaatkan berbagai hal yang dapat ditemukan, diketahui, diungkap, dijelaskan, dan dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan praksis tentang manusia.
Umumnya, berbagai cabang ilmu yang serumpun memiliki objek material yang sama. Misalnya adalah ilmu politik, salah satu objek yang menjadi sasaran telaahnya adalah partai politik sebagai objek material. Namun partai politik yang menjadi objek material ilmu politik itu juga dipelajari atau ditelaah oleh sosiologi, ilmu menejemen, ilmu komunikasi, ilmu hukum, ilmu agama, filsafat, dan seterusnya. Lantas, apa perbedaan dari ilmu-ilmu itu? Perbedaan ilmu-ilmu itu terletak pada bagaimana cara menemukan, mengetahui, mengungkap, dan menjelaskan hal-hal penting dari pokok persoalan yang menjadi fokus perhatian ilmuwannya. Akibat dari perbedaan cara menemukan, mengetahui, mengungkap, dan menjelaskan hal-hal penting dari pokok persoalan yang menjadi sentral masalah sasaran telaah yang dilakukan ilmuwan menghasilkan jenis pengetahuan yang berbeda-beda pula. Berarti, hal yang membedakan cabang ilmu satu dengan cabang ilmu yang lain adalah objek formal yang digunakan ilmuwan untuk menelah sasaran atau objek material suatu ilmu.

2.      Objek Formal

Perbedaan-perbedaan pengetahuan satu dengan pengetahuan yang lain atau ilmu satu dengan ilmu yang lain pada hakikatnya terletak pada (1) bagaimana cara pengetahuan itu ditemukan, (2) bagaimana cara pengetahuan itu dirumuskan, dan (3) bagaimana cara pengetahuan itu dijelaskan oleh ilmuwan. Perbedaan juga disebabkan oleh prinsip-prinsip berfikir, sifat logika, dan jenis argumentasi yang digunakan oleh ilmuwan. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan yang mencakup (1) cara pengetahuan ditemukan, (2) cara pengetahuan dirumuskan, (3) cara pengetahuan dijelaskan, (4) prinsip-prinsip berfikir, (5) karakteristik logika, dan (6) jenis argumentasi yang digunakan oleh ilmuwan juga dipahami sebagai objek. Objek yang berkenaan dengan enam unsur itu merupakan perspektif ilmuwan dalam memahami objek material.
Objek yang hakikatnya merupakan perspektif ilmuwan dalam menghasilkan pengetahuan ilmu yang baru itu adalah objek yang terkait dengan bagaimana pembentukan (to form) pengetahuan ilmu. Oleh karena itu, objek ini disebut dengan objek formal. Objek ini secara konvensional dianggap benar, sepanjang ditandai oleh atau diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi berfikir logis dan metodologi yang terorganisir secara tepat dalam pembentukan ilmu.
Objek formal sering juga disebut perspektif ilmu, poin of view atau poin of interest, kerangka teoretis, kerangka filosofis atau sebutan lain yang pada hakikatnya adalah paradigma suatu ilmu. Paradigma ilmu pada dasarnya adalah cara pandang ilmuwan terkait dengan (1) apa yang harus di amati dan diteliti, (2) jenis pertanyaan yang dianggap perlu untuk dipertanyakan dan diteliti untuk ditemukan jawabnya terkai dengan objek material tertentu, (3) bagaimana pertanyaan-pertanyaan itu dirumuskan secara terstruktur, (4) bagaimana hasil penelitian ilmiah harus diinterpretasikan. Jadi, paradigma adalah cakupan dan karakteristik pola berfikir dalam berbagai disiplin ilmiah atau cakupan unsur pengembangan ilmu dalam konteks epistemologis yang dilakukan oleh ilmuwan dalam melaksanakan penelitian ilmiah.
Paradigma atau objek formal adalah perspektif yang di dalamnya terkandung unsur-unsur yang menjadi cakupannya. Unsur-unsur paradigma dalam natural sciences  (ilmu-ilmu kealaman) memerlukan studi dan pendalaman tersendiri, yang dengan sangat terpaksa tidak mungkin di paparkan di dalam kesempatan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini dipaparkan unsur-unsur paradigma untuk ilmu-ilmu sosial-budaya dan humaniora. Unsur-unsur yang membentuk paradigma atau objek formal dalam ilmu-ilmu sosial-budaya dan humaniora adalah (1) asumsi-asumsi dasar, (2) nilai-nilai, (3) model, (4) masalah-masalah yang ingin diselesaikan atau dijawab, (5) konsep-konsep, (6) metode penelitian, (7) metode analisis, (8) hasil analisis, (9) etnografi atau representasi. Untuk menggambarkan secara cermat dan lengkap suatu pengetahuan dalam ilmu tertentu atau dalam penelitian ilmiah tertentu, seorang ilmuwan atau peneliti bidang ilmu tertentu harus dapat menunjukkan objek materialnya dan dapat pula menunjukkan ciri-ciri pengetahuan yang dihasilkan sesuai karakter yang ditampakkan pada objek formalnya.

C.    Bentuk Pernyataan Ilmu

Suatu fenomena yang telah menjadi sasaran atau objek material ilmu akan diungkap dan dijelaskan sesuai objek formal atau paradigma yang digunakan oleh ilmuwan atau peneliti. Di dalam mengungkap dan menjelaskan berbagai persoalan yang ada di balik fenomena yang menjadi sasaran ilmu mengharuskan ilmuwan atau peneliti untuk menyajikan pernyataan-pernyataan ilmu atau pernyataan ilmiah. Pernyataan ilmiah itu merupakan kumpulan-kumpulan pernyataan atau kumpulan proposisi yang memuat pengetahuan ilmiah dari suatu objek material tertentu dan dalam perspektif tertentu.
Tiap-tiap objek dengan pespektif tertentu atau tiap ilmu pengetahuan tertentu , atau pula tiap pernyataan ilmiah dalam suatu penelitian ilmiah memiliki bentuk-bentuk pernyataan yang satu sama lain berbeda. Bentuk pernyataan ilmiah secara umum dapat dibedakan menjadi bentuk pernyataan (1) deskriptif, (2) preskriptif, (3) eksposisi pola, dan (4) rekonstruksi historis. Umumnya, tiap ilmu memiliki bentuk pernyataan yang bersifat khusus. Namun, bentuk pernyataan tertentu bukan merupakan monopoli ilmu pengetahuan tertentu. Ilmu pendidikan misalnya memiliki kecenderungan bentuk pernyataan ilmiah yang bersifat deskriptif  dan juga preskriptif. Ilmu menejemen dan ilmu politik juga cenderung berbentuk preskriptif. Sedangkan bentuk pernyataan pada ilmu sejarah dan antropologi cenderung bersifat deskriptif, eksposisi pola, atau rekonstruksi historis.

1.      Pernyataan Deskriptif

Bentuk pernyataan deskriptif adalah kumpulan pernyataan yang bercorak deskripsi, penggambaran, atau pemaparan dengan memberikan perincian mengenai bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci lain dari fenomena yang menjadi sasaran. Bentuk pernyataan ini umumnya dapat ditemukan dalam ilmu-ilmu yang bercork deskriptif seperti misalnya antomi, geografi, geologi, dan seterusnya.

2.      Pernyataan Preskriptif

Bentuk pernyataan preskriptif adalah kumpulan pernyataan yang memberikan petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang seharusnya terjadi atau yang perlu terjadi, atau sebaiknya terjadi dalam rangka mencapai suatu fase tertentu. Bentuk pernyataan ini sering dijumpai dalam ilmu-ilmu sosial, misalnya ilmu pendidikan yang memaparkan petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengajar di dalam proses pembelajaran mencapai tingkat keberhasilan tertentu. Ilmu administrasi Negara juga menggunakan bentuk pernyataan demikian karena bentuk pernyataan-pernyataannya cenderung memaparkan asas-asas, ukuran-ukuran, dan berbagai ketentuan tentang organisasi yang baik, menejemen yang efektif, atau prosedur kerja yang efisien.

3.      Eksposisi Pola

Bentuk pernyataan yang bersifat eksposisi pola adalah pernyataan yang merangkum paparan pola-pola dalam sekumpulan sifat, cirri, kecenderungan, atau proses-proses yang terjadi di balik fenomena yang menjadi sasaran penelitian ilmiah. Antropologi misalnya, biasanya banyak menggunakan bentuk pernyataan ini, karena banyak menyajikan pemaparan pola-pola kebudayaan suku-suku bangsa. Sosiologi juga demikian, banyak menyajikan pola-pola perubahan masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan.

4.      Rekonstruksi Historis

Bentuk pernyataan yang bersifat rekonstruksi historis adalah pernyataan yang menyajikan paparan yang menggambarkan atau menceritakan suatu peristiwa. Gambaran dan cerita itu disertai dengan penjelasan atau argumentasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan suatu hal di masa lampu, yang lebih baik sebagai akibat campur tangan manusia maupun karena proses-proses alamiah. Ilmu-ilmu yang cenderung menggunakan bentuk pernyataan ini adalah ilmu sejarah atau arkeologi.

D.    Isi Pernyataan Ilmu

Ilmu, selain eksis dengan bentuk-bentuk pernyataan atau proposisi-proposisi tertentu juga eksis dengan isi pernyataan atau isi proposisi ilmu. Pernyataan atau proposisi ilmu adalah susunan pernyataan tentang hubungan antara dua atau beberapa hal yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati dari objek tertentu. Jadi, pernyataan atau proposisi adalah suatu paparan yang didalamnya mengandung pengakuan kebenaran terhadap objek ilmiah yang ditemukan, diungkapkan, dan dijelaskan dalam rumusan-rumusan kalimat. Kandungan atau isi pernyataan atau proposisi ilmu pada hakikatnya terdiri dari tiga jenis, yaitu (1) prinsip-prinsip, (2) kaidah-kaidah, konsep, dan (3) teori.

1.  Prinsip

Eksistensi ilmu akan tampak manakala di dalam karya ilmiah terdapat proposisi-proposisi yang mengandung prinsip-prinsip ilmiah. Prinsip ilmiah adalah suatu pernyataan tentang sistem yang terikat oleh formula logis. Jadi wujud prinsip adalah statemen atau ide yang secara logika dapat diterima sebagai sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan. Di dalam ilmu sosial, pengertian proposisi sering diartikan sebagai paparan pernyataan yang mengandung makna yang dapat diterapkan pada serangkaian peristiwa untuk menjadi acuan dalam melakukan tindakan bermakna. Misalnya adalah prinsip equal pay for equal work, prinsip gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama, dapat digunakan sebagai acuan yang benar untuk mengangkat para pegawai dan mengelola sistem penggajian. Di dalam natural science, paparan mengenai sistem dengan formula logis seperti misalnya penjelasan tentang peredaran planet berdasarkan pengamatan dalam astronomi yang menyatakan bahwa makin dekat suatu planet dengan matahari, semakin pendek masa perputarannya.

2.  Kaidah

Kaidah dalam dunia ilmu pada umumnya atau dalam penelitian ilmiah pada khususnya adalah pernyataan tentang keteraturan dan/atau keajegan tentang tertib hubungan antar berbagai unsur suatu fakta yang berulang. Pemahaman mengenai keberulangan itu dikuatkan melalui penelitian ilmiah, sehingga kaidah menjadi pernyataan mengenai keteraturan tentang keberulangan yang terjadi di dalam realitas suatu fenomena yang menjadi objek penelitian ilmiah.
Keajegan atau tertib hubungan antar unsur di dalam realitas suatu fenomena dapat diperiksa kebenarannya. Kaidah pada umumnya berlaku pada berbagai fenomena yang sejenis. Keberlakuannya pada fenomena yang sejenis itulah yang menyebabkan kaidah dapat diperiksa kebenarannya. Apabila ada proposisi di dalam karya ilmiah yang menyatakan bahwa ada kaidah yang berlaku dalam fenomena yang diteliti tetapi tidak berlaku dalam fenomena yang lain, maka proposisi itu patut dipertanyakan kebenarannya.  
Kaidah dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan prediksi, oleh karena itu kaidah juga sering dikatakan sebagai pernyataan prediktif. Kaidah dapat digunakan sebagai sarana prediksi karena jika di dalam kondisi-kondisi tertentu dapat ditemui tertib hubungan di dalam unsur-unsurnya, maka kaidah dapat digunakan untuk meramalkan keadaan atau peristiwa yang akan terjadi. Di sisi lain, kaidah juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melihat ke-universal-an suatu tertib hubungan antar unsur yang sifatnya ajeg dalam suatu fenomena. Keuniversalan itu tampak dari tertib hubungan antar unsur ajeg, yang ditegaskan dalam pernyataan, yang selalu terjadi dalam kondisi-kondisi tertentu.

3.  Konsep

Hakikat konsep adalah wadah suatu pengertian dari fakta dan/atau realita tertentu. Manifestasi konsep mewujud dalam tiga unsur yang saling terkait membentuk satu kesatuan subtansi yaitu pengertian. Unsur-unsur konsep antara lain adalah (1) simbol, (2) fenomena, dan (3) makna. Ihalauw (2004: 24) menyatakan bahwa pada hakikatnya konsep adalah kesatuan antara simbol fenomena dan maknanya, yang digunakan untuk menyatakan makna suatu fenomena. Konsep apabila digambarkan adalah seperti berikut.
Konstruksi Konsep
Didaptasi dari Ihalauw (2004: 29) berjudul “Unsur-unsur Pembentuk Konsep”

Konsep di dalam ilmu selalu ada dan bertebaran di berbagai bentuk pernyataan ilmu. Oleh karena itu, tidak pernah ada ilmu yang eksis tanpa konsep. Ilmu selalu dinyatakan atau menyatakan dirinya dengan menggunakan konsep. Konsep mula-mula muncul dalam bentuk simbol yang dapat berupa istilah-istilah, kata-kata atau tanda-tanda tertentu, yang bermakna, dan digunakan sebagai sarana untuk memahami, menafsirkan, menganalisis, dan menjelaskan fakta, realita dan peristiwa.

4. Teori

Pada dasarnya kata teori adalah istilah teknis yang berarti “looking at, viewing, beholding (memperhatikan, mengamati, memandang)” yang menunjuk atau berkenaan dengan kontemplasi atau spekulasi, lawan kata dari aksi atau tindakan. Pada hakikatnya istilah dan pengertian teori sering dihadapkan secara kontras dengan istilah dan pengertian “praktek” (http://en.wikipedia.org/wiki/Theory). Salah satu contoh klasik perbedaan antara teori dan praktek adalah penggunaannya pada ilmu kedokteran. Teori kedokteran menjelaskan tentang sebab-sebab dan sifat alami tubuh manusia yang sehat dan yang sakit, sedangkan praktek kedokteran adalah tindakan-tindakan konkrit agar tubuh manusia sehat, sembuh dari sakit. Dua hal itu saling terkait, tetapi masing-masing bersifat mandiri, sebab dapat dilaksanakan penelitian kesehatan dan penelitian tentang penyakit tanpa harus secara praktek melakukan pengobatan terhadap pasien-pasien yang sakit, dan dapat pula dilakukan penyembuhan seorang pasien tanpa mengetahui bagaimana penyembuhan bekerja.
Teori dalam pengetahuan ilmiah pada dasarnya adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis. Kumpulan proposisi itu adalah alat untuk menjelaskan suatu fenomena yang menjadi objek penelitian. Contohnya adalah teori evolusi yang ditawarkan oleh Darwin. Teori ini berisi proposisi-proposisi yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk organisme yang lebih rumit berasal dari sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana (dan primitif) yang berkembang secara evolutif sepanjang masa.
Teori dalam seni dan filsafat boleh jadi menunjuk pada ide-ide dan/atau fenomena empiris yang tak mudah untuk diamati secara indera. Teori dalam dunia ilmu pengetahuan modern disebut teori ilmiah, umumnya dipahami sebagai sarana untuk menjelaskan fenomena empiris, yang dibuat secara konsisten dengan metode ilmiah. Teori ilmiah cenderung dideskripsikan sebagai sarana bagi ilmuwan di lapangan dalam memahami, menguji, membuktikan, menentang, menolak, dan merekayasa suatu objek. Dalam ilmu pengetahuan modern perbedaan antara teori dan praktek secara kasar dapat dilihat pada perbedaan antara teori ilmiah dengan teknologi atau dengan ilmu terapan.

E.     Ciri Pokok Ilmu

Ilmu merupakan pengetahuan yang memiliki karakteristik, ciri khusus, atau keistimewaan yang membuat orang menyadari bahwa pengetahuan itu adalah ilmu. Ciri khusus atau keistimewaan itu merupakan hal penting, karena berguna untuk membedakan pengetahuan ilmu itu sendiri dengan pengetahuan-pengetahuan lain. Sifat-sifat yang melekat dan berperan sangat penting itu di sini disebut ciri pokok ilmu. Ciri-ciri pokok ilmu menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pernyataan maupun kandungan-kandungan proposisinya harus memiliki sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat yang harus ada dan menjadi ciri pokok ilmu adalah sifat (1) sistematis, (2) keumuman atau general, (3) rasional, (4) objektif, (5) dapat diverifikasi, dan (6) komunal.

1.  Sistematis

Bentuk-bentuk pernyataan dan isi kandungan pernyataan ilmu harus bersifat sistematis, karena syarat pengetahuan dapat berubah menjadi ilmu adalah pengetahuan itu tersusun dalam satu kesatuan sistemik. Pernyataan atau proposisi-proposisinya berisi pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara fungsional. Pernyataan yang terumuskan berisi uraian-uraian substansi suatu objek, dan tiap uraian substansi berhubungan satu sama lain secara teratur dan logis sehingga membentuk sistem yang “bermakna” secara utuh, menyeluruh, terpadu, dapat berfungsi sebagai sarana untuk menjelaskan rangkaian antar unsur yang menjadi sebab,  akibat atau konstruksi secara logis suatu obyek.
Setiap ilmu pengetahuan harus mengandung jabaran suatu hubungan inter dan/atau antar unsur, yang satu sama lain saling bertalian secara sistematis dari fakta-fakta yang menjadi objeknya. Ilmu berwujud kumpulan pernyataan atau proposisi sistematik yang di dalamnya berisi kebenaran. Kebenaran dan sifat sistematik adalah ciri pokok ilmu. Namun sifat sistematik bukan satu-satunya ciri pokok ilmu.
Sejumlah pernyataan, meskipun benar seperti misalnya peribahasa atau ucapan-ucapan arif dari orang yang bijak, tidak dapat serta merta menjadi ilmu jika tidak dapat disusun menjadi suatu kebulatan pemahaman yang komprehensip, yang di dalamnya terdapat unsur yang saling berkaitan secara sistemik. Namun, fakta-fakta yang disusun oleh seseorang secara sistematik semata-mata juga tidak dapat serta merta disebut ilmu, karena diperlukan ciri pokok yang lain. Sebab, sifat sistematik bukan satu-satunya ciri pokok ilmu. Oleh karena itu, ciri sistematik harus dilengkapi lagi dengan ciri ilmu yang lain yaitu bersifat umum atau general.

2.  Keumumam/General

Ilmu mesti bersifat umum atau general, karena hakikat ilmu adalah merangkum berbagai fenomena yang luas. Konsep-konsep yang dirumuskan, yang digunakan untuk menjelaskan suatu objek juga dapat diberlakukan secara luas atau umum,  baik dalam pembahasannya maupun dalam penerapannya. Di dalam ilmu manajemen, misalnya, jika di dalamnya berisi penjelasan bagaimana seharusnya seorang manager mengelola (merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol) suatu bisnis, maka penjelasan yang baik harus mengandung konsep-konsep yang berlaku untuk bisnis tertentu maupun bisnis yang lain.
Di atas dikatakan bahwa bentuk-bentuk dan isi pernyataan ilmu harus bersifat sistematis, karena pengetahuan ilmu selalu tersusun dalam satu kesatuan sistemik. Namun, tidak semua bentuk dan isi pernyataan yang sistematis dapat serta merta disebut ilmu. Contoh konkrit mengenai hal ini adalah buku petunjuk telepon, yang tersusun secara sistematis. Bentuk dan isi pernyataan yang ada di dalam buku petunjuk telepon tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan ilmu, walaupun salah satu ciri pokok pengetahuan ilmu adalah sistematis. Karena, bentuk dan isi pernyataan yang ada di dalam buku petunjuk telepon sama sekali tidak ada ciri keumumannya. Kumpulan informasi di dalam buku itu hanya menunjuk pada orang-orang tertentu, nomor tertentu, alamat tertentu, dan hal-hal tertentu yang lain.

3.  Rasional

Sifat lain yang menjadi ciri pokok ilmu adalah rasional, karena konstruk dan wujud pengetahuan ilmu harus diperoleh dan dirumuskan dengan menggunakan rasio. Perolehan  dan perumusan itu dilakukan oleh ilmuwan dalam proses berfikir ketika berusaha memahami suatu objek. Ini berarti, ilmu dirumuskan menggunakan prinsip berfikir yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Perolehan dan perumusan yang menggunakan rasio itu mengindikasikan bahwa proses mendapatkan hasil dan hasil pengetahuan yang didapat dan diterangkan oleh ilmuwan harus dapat diterima oleh akal manusia. Mengapa harus dapat diterima akal, sebab akal adalah alat rohaniah manusia yang dapat membedakan benar dan salah, dapat mengingat, dapat menyimpulkan, dapat menganalisis, dan dapat menilai suatu pengalaman. Jadi, ilmu harus rasional, dan ilmu mesti mengandung proses dan konstruksi pengetahuan yang dapat dimengerti sesuai dengan fakta dan realita objeknya. Tuntutan terhadap rasionalitas ilmu mengindikasikan bahwa dalam perolehan dan penyusunannya terdapat tata cara dan prosedur yang harus dipatuhi.

4.  Objektif

Ciri pokok ilmu yang lain adalah objektif. Artinya, ilmuwan dalam merumuskan pengetahuan ilmu harus bersikap objektif. Keobjektifan harus terjadi di saat ilmuwan mengkaji objek dan menemukan kebenaran ilmiah. Keobjektifan mengharuskan ilmuwan tidak melibatkan emosi, selera, dan/atau kepentingan pribadi yang subjektif pada saat berproses, berfikir, mengumpulkan data, menentukan data, menganalisis, dan menyimpulkan pengetahuan tentang objek. Objektifitas dalam ilmu mengharuskan ilmuwan dalam menangkap, merumuskan, dan memaparkan sifat alamiah objek yang diteliti/dipelajari tidak boleh berpihak, sehingga penalarannya dapat diterima semua pihak, pernyataan yang dipaparkan juga bukan semata-mata hasil dugaan, hasil prasangka, atau manifestasi nilai-nilai yang dianut oleh subjek tertentu.

5.  Dapat Diverifikasi

Ciri pokok ilmu yang lain adalah harus dapat diperiksa, diteliti, atau diuji kembali kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Oleh karena itu, ilmu harus dapat dibuktikan atau dapat diverifikasi. Verifikasi adalah sarana untuk mengontrol kesesuaian pernyataan-pernyataan ilmu, sarana untuk memeriksa, meneliti, atau menguji kembali eksisten sistematisasinya, keumumannya, rasionalitasnya, dan objektivitasnya. Verifikasi juga dapat berguna untuk memeriksa, meneliti, atau menguji korespondensi, koherensi, dan kesesuaian antara pernyataan ilmiah dengan objeknya.

6.  Komunal

Ciri pokok terakhir ilmu adalah komunal. Ilmu pengetahuan yang telah dipublisir dengan sendirinya menjadi milik dan/atau dikuasai publik (menjadi public knowledge),  tanpa mengurangi hak atas kekayaan intelektual (intellectul property right) yang melekat pada inventor maupun kreator yang merumuskan ilmu pengetahuan itu. Hasil penelitian yang menjadi khasanah keilmuan tidak mungkin, dan tak elok hanya disimpan atau disembunyikan. Hasil penelitian harus disebarluaskan oleh para penelitinya.

F.     Pembagian Sistematis Ilmu

Pengetahuan ilmu adalah pengetahuan yang wujudnya sangat beragam. Oleh karena itu, mengenali dan memahami pengetahuan ilmu tidak dapat dilakukan secara simultan. Untuk itu diperlukan pembagian sistematis di dalam menjelaskan objek ilmu. Pembagian sistematis eksis dalam bentuk rincian. Jadi, tidak ada ilmu tanpa rincian. Sebagai contoh adalah objek yang kita diskusikan ini, yang berkenaan dengan konstruksi ilmu. Konstruksi ilmu terdiri dari (1) objek ilmu, (2) bentuk pernyataan ilmu, (3) ragam proposisi, (4) ciri pokok, dan (5) pembagian sistematis ilmu. Objek ilmu terdiri dari (1.a) objek material, dan (1.b) objek formal. Bentuk pernyatan ilmu terdiri dari (2.a) pernyaaan deskriptif, (2.b) pernyataan preskriptif, (2.c) eksposisi pola, dan (2.d) rekonstruksi historis. Pernyataan atau proposisi ilmu selalu memiliki tiga jenis kandungan yang terdiri dari (3.a) prinsip-prinsip, (3.b) kaidah-kaidah, dan (3.c) teori. Ciri pokok ilmu adalah sifat yang melekat pada pengetahuan, yaitu sifat (4.a) sistematis, (4.b) keumuman/general, (4.c) rasional, (4.d) objektif, (4.e) dapat diverifiksi, dan (4.f) komunal. Pembagian sistematis konstruksi ilmu apabila digambarkan dalam bentuk diagram adalah seperti berikut.

G.    Penutup

Paparan di atas menggambarkan eksistensi ilmu pengetahuan ilmiah dilihat dari sisi konstruksi dan sistemnya. Pengetahuan ilmiah, mesti memiliki (1) objek, (2) bentuk-bentuk pernyataan, (3) isi pernyataan, (4) ciri pokok, dan (5) pembagian sistematis. Objek ilmu terbagi dalam dua kategori yaitu objek material dan objek formal. Bentuk-bentuk pernyataan pengetahuan ilmiah terdiri dari pernyataan deskriptif, pernyataan preskriptif, pernyataan berupa eksposisi pola, dan/atau pernyataan yang berupa rekonstruksi historis. Isi pernyataannya meliputi prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, dan teori. Ciri pokok pengetahuan ilmiah adalah bersifat sistematis, general atau umum, rasional, objektif, dapat diverifikasi dan komunal. Di dalam pengetahuan ilmiah harus ada pembagian sistematis, yang harus dilaksanakan peneliti dalam menganalisi objek yang diteliti.

H.    Daftar Acuan

Bibliografi

Freshwater, D., Sherwood, G. & Drury, V. (2006) “International Research Collaboration”. Journal of Research in Nursing, 11 (4), pp 9295–303.
Hunt, S.D. (2003). Controversy in Marketing Theory: For Reason, Realism, Truth, and Objectivity. Connecticut: M.E. Sharpe. p. 18.
Ihalauw, J. J.O.I. 2004. Bangunan Teori. Satya Wacana University Press. Salatiga.
Klubertanz. G.P. 1955. Introduction to the Philosophy of Being. New York: Appleton-Century-Crofts.
Kragh, H. 1989. An Intoduction to the Historiography of Science, Cambridge University Press p.138.
Locke, J. (1838). An Essay Concerning Human Understanding. New York: Thomas Davison.
MacMorris, N. 1989. The Natures of Science. New York: Fairleigh Dickinson University Press. pp. 31–33.
Popper, K .2002.. The Logic of Scientific Discovery (2nd English ed.). New York, NY: Routledge Classics. p. 3.
Sunarto, B. 2010. Epistemologi Karawitan Kontemporer Aloysius Suwardi. Disertasi. Fakultas Filsafat. Universitas Gadjah Mada.
Vardiansyah, D. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi. Jakarta: Indeks.
Wilson, E. 1999. Consilience: The Unity of Knowledge. New York: Vintage.


Webtografi




                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar