Oleh Bambang Sunarto
Detaser Ditjen Dikti Kemendiknas
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Abstrak
Artikel ini membahas konstruksi dan sistem ilmu secara ringkas.
Tujuannya adalah untuk membantu para calon peneliti dan ilmuwan mengetahui
persoalan dasar dalam membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang menjadi
minatnya. Elemen-elemen anatomis yang menjadi unsur penentu bangunan ilmu dipaparkan secara
deskriptif di dalam artikel ini, di antaranya (1) objek ilmu, (2)
bentuk-bentuk pernyataan ilmu, (3) isi pernyataan ilmu, (4) ciri pokok ilmu,
dan (5) pembagian sistematis ilmu. Pengetahuan ini berguna bagi para peneliti
dan para ilmuwan muda sebagai dasar filosofis dalam membangun dan mengembangkan
ilmu pengetahuan yang menjadi minatnya. Konsistensi dalam mengikuti pemahaman
tentang bangunan ilmu ini akan membantu mereka menghasilkan karya ilmiah yang
sistematis, yang mampu menggambarkan eksistensi pengetahuan ilmiah yang dipelajari
atau dirumuskannya secara benar.
A. Pembuka
Pengetahuan dapat dipilah dalam dua kategori, yaitu (1) pengetahuan yang
berasal dari manusia sendiri, dan (2) pengetahuan dari Tuhan. Namun harus
diakui bahwa ada juga kelompok manusia yang tidak percaya adanya Tuhan, tidak
percaya terhadap adanya pengetahuan jenis kedua ini. Mereka adalah orang-orang
yang menganut paham materialisme.
Pengetahuan yang berasal dari manusia sendiri adalah pengetahuan yang
didapat manusia melalui (1) persentuhan dengan objek-objek terindera, (2)
proses berfikir, (3) proses berimajinasi. Pengetahuan yang berasal dari Tuhan
adalah pengetahuan yang datangnya dari Tuhan, dan pengetahuan itu disebut
wahyu. Pengetahuan yang berasal dari manusia adalah pengetahuan yang ada
sebagai hasil pemikiran manusia. Pengetahuan yang datangnya dari Tuhan
membentuk agama. Pengetahuan dari manusia membentuk kebudayaan.
Pengetahuan yang berasal dari manusia dapat pula dipilah menjadi tiga
kategori, yaitu (1) pengetahuan indera, (2) pengetahuan ilmu (biasa disebut
pengetahuan ilmiah), dan (3) pengetahuan filsafat. Pengetahuan indera adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui proses penginderaan. Pengetahuan indera
diperoleh melalui proses melihat, mendengar, merasa, meraba, dan mencium suatu
objek. Jadi, pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui
pengalaman panca-indera, dan dari pengalaman indera masuk ke proses pemikiran
dan langsung menjadi pengetahuan.
Pengetahuan ilmu atau pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan dengan
konstruksi sistematis yang diperoleh dari berfikir sistematis, didukung
penelitian dengan metode rasional yang dapat dipertanggungjawabkan. Pengetahuan
ilmu dirumuskan, dinyatakan, dan diungkapkan oleh ilmuwan. Sejajar dengan
pengetahuan ilmu ada pengetahuan seni. Pengetahuan seni adalah pengetahuan
tentang nilai-nilai dan sistem artistik yang diperoleh melalui proses imajinasi
dan berfikir spekulatif. Proses imjinasi dan berfikir spekulatif dilakukan oleh
seniman, dan pemikiran itu dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang terumuskan
dan tersusun sebagai hasil dari proses berfikir yang spekulatif dan radikal.
Di dalam kehidupan sehari-hari, pengetahuan indera atau pengetahuan yang
diperoleh melalui proses penginderaan disebut ‘pengetahuan’ saja. Dalam
bahasa Inggris pengetahuan
jenis ini disebut knowledge. Pengetahuan yang diperoleh dari berfikir sistematis yang didukung
penelitian umumnya disebut ilmu. Pengetahuan ini dalam bahasa Inggris
disebut science. Pengetahuan yang terumuskan dan tersusun sebagai hasil dari proses
berfikir yang spekulatif dan radikal disebut filsafat.
1. Batas Pengetahuan
Wilayah jangkauan pengetahuan indera adalah segala sesuatu yang dapat
disentuh oleh panca indera secara langsung. Pengetahuan indera sampai pada
segala sesuatu yang tidak lagi tertangkap oleh panca indera. Wilayah jangkauan
ilmu adalah segala sesuatu yang dapat diteliti manusia. Batasnya sampai pada
yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian. Wilayah jangkauan dari
pengetahuan filsafat adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh nalar
atau pikiran manusia, yang alami dan nisbi (relatif dan terbatas). Batasnya
adalah alam dan atau segala realitas makhluk ciptaan Tuhan.
Perbandingan di atas menunjukkan bahwa wilayah pengetahuan indera adalah
sempit, hanya meliputi sesuatu, sepanjang sesuatu itu dapat dijangkau oleh
mata, telinga, hidung, kulit (rabaan), dan lidah secara langsung, tanpa bantuan
dan perantaraan alat. Kedudukan pengetahuan indera sangat penting karena
merupakan pengetahuan langsung, pengetahuan pertama yang dimiliki oleh setiap
orang. Pengetahuan ini dapat menjadi salah satu pijakan untuk melangkah kepada
pencapaian pengetahuan ilmu.
Ilmu bertugas menjangkau apa yang berada di balik pengetahuan indera.
Ilmu menjawab berbagai pertanyaan yang datang dari pengalaman indera. Seperti
misalnya pertanyaan, mengapa awan berubah menjadi titik-titik air, dari mana
datangnya awan, mengapa titik-titik air menghilang begitu sampai di tanah,
mengapa terbentuk aliran-aliran air setelah hujan, ke mana perginya
aliran-aliran air setelah hujan reda, mengapa air jatuhnya ke tanah dan bukan
ke langit, dan seterusnya.
Ilmu mengatasi persoalan di mana panca indera sampai pada batas
kemampuannya. Ketika pengetahuan panca indera sudah tidak lagi mampu menjawab
pertanyaan mengenai sesuatu yang berada di balik pengetahuan indera, maka
diperlukan ilmu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Untuk sampai pada
pengetahuan ilmu, diperlukan bantuan otak dan fisik untuk menyelesaikannya.
Otak berfikir dan fisik mengumpulkan data-data. Otak memikirkan data-data yang
dikumpulkan oleh fisik. Selama otak dan fisik dapat bekerja sama melakukan
penelitian, di sana lahir ilmu pengetahuan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang tidak dapat diselesaikan oleh indera.
Apabila dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul fisik kita tidak mampu
mencari, mengumpulkan, dan menyediakan data-data untuk dipikirkan oleh otak,
oleh pikiran, maka pertanyaan itu diserahkan oleh sepenuhnya kepada otak untuk
menyelesaikannya. Pertanyaan itu diserahkan kepada pikiran, kepada budi nurani
untuk menjawabnya sendiri. Jika pikiran mulai bekerja sendiri, maka jawabannya
mulai meninggalkan wilayah ilmu, dan masuk ke wilayah filsafat. Bertolak dari
hasil-hasil yang diproduksi oleh ilmu, bekerjalah otak seorang filsuf untuk
menyelesaikan persoalan yang tak terselesaikan oleh ilmu. Apa yang dibicarakan
adalah segala sesuatu yang tidak dapat diteliti, tetapi dapat dipikirkan,
sehingga filsafat merupakan bidang yang teramat sangat luas.
2. Sistem Pengetahuan Ilmu
Pada dasarnya, semua pengetahuan
miliki konstruksi. Pengetahuan indera ada konstruksinya, pengetahuan ilmu,
memiliki konstruksi sendiri, demikian pula dengan pengetahuan filsafat. Di atas
dikatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan dengan konstruksi sistematis yang
diperoleh dari berfikir sistematis, di dukung penelitian dengan metode rasional
yang dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan itu menunjukkan bahwa ilmu
merupakan suatu sistem pengetahuan, yang berfungsi sebagai (1) dasar teoretis
suatu tindakan praktis, atau (2) penjelasan sistemik mengenai saling hubung
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Jadi, hakikat ilmu adalah kumpulan
pengetahuan sistematik yang terdiri dari unsur bentuk pernyataan ilmu -unsur
yang saling terkait sehingga dapat menjadi dasar teoretis dan/atau dapat
memberi penjelasan suatu persolalan. Saling kait unsur-unsur pengetahuan itu
merupakan suatu konstruksi terstruktur ilmu. Konstruksi ilmu sekurang-kurangnya
tersusun atas lima kelompok unsur, yang terdiri dari (1) objek ilmu, (2), bentuk-bentuk
pernyataan ilmu, (3) ragam proposisi ilmu, (4) ciri-ciri pokok ilmu, dan (5)
pembagian sistematis ilmu.
B.
Objek Ilmu
Setiap ilmu, sebagaimana dijelaskan di atas selalu eksis dengan sistem
pengetahuan ilmu. Salah satu unsur sistem pengetahuan ilmu adalah objek ilmu.
Berarti, apapun nama ilmu itu, selalu mempunyai objek atau sasaran. Objek atau
sasaran setiap ilmu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) objek
material, dan (2) objek formal.
Objek material adalah fenomena dunia yang ditelaah, dikaji, dan
dipelajari oleh ilmu. Objek formal adalah pusat perhatian, focus of interest, sentral masalah yang menjadi sasaran telaah yang
dilakukan ilmuwan terhadap fenomena dunia yang menjadi objek material.
Pertemuan atau penggabungan antara objek material dan objek formal pada
hakikatnya menjadi pokok persoalan yang dikaji dan dibahas ilmuwan sehingga
akhirnya menghasilkan pengetahuan ilmiah tertentu.
1. Objek Material
Klubertanz (1955: 4) menyatakan bahwa objek material menunjuk pada pokok
persoalan suatu pengetahuan tertentu, terutama dalam kaitannya dengan
proposisi-proposisi yang dapat dibuat mengenai pokok persoalan itu. Kata sifat
‘material’ tidak dimaksud untuk menunjukkan adanya materi di dalam susunan
suatu pokok persoalan suatu ilmu. Kata ‘material’ di gunakan di sini cenderung
untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dibentuk berdasarkan bahan-bahan atau
materi-materi tertentu, mirip bahan atau materi yang digunakan oleh seniman
atau tukang dalam mencipta sesuatu. Jika, seniman atau tukang dalam mencipta
karya atau membuat sesuatu menggunakan bahan-bahan atau materi-materi sebagai
dasarnya, maka ilmuwan di dalam membuat atau merumuskan pengetahuan ilmiah atau
ilmu juga menggunakan bahan-bahan atau materi-materi tertentu sebagai dasarnya.
Pada hakikatnya, bahan-bahan atau materi-materi yang digunakan oleh
ilmuwan sebagai dasar untuk merumuskan pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan
adalah fenomena dunia yang tergelar di hadapan kesadarannya. Jadi, objek
material adalah suatu sasaran kajian atau telaah ilmu yang berupa fenomena
dunia yang dijadikan bahan atau materi untuk menghasilkan pengetahuan ilmu. Jumlah
fenomena dunia yang ditelaah oleh berbagai
bidang ilmu adalah tak terhingga, sejalan dengan tumbuhnya cabang-cabang
dan ranting-ranting ilmu. Namun, sesungguhnya fenomena-fenomena dunia yang tak
terhingga banyaknya itu dapat dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu (1)
ide-ide abstrak, (2) benda-benda fisik, (3) jasad hidup, (4) gejala-gejala
rohani, (5) peristiwa-peristiwa sosial, dan (6) proses tanda.
Contoh fenomena yang termasuk dalam kategori ide abstrak adalah konsep
bilangan atau konsep tawajuh (dalam komunitas Nahsabandiyah), konsep puasa,
konsep pasar, konsep artistik dan seterusnya. Contoh fenomena yang termasuk kategori
benda-benda fisik adalah gunung berapi, air bah, tsunami, dan seterusnya.
Contoh fenomena yang termasuk kategori jasad hidup adalah manusia, burung, ulat
bulu, jamur, berbagai jenis pepohonan, dan seterusnya. Contoh fenomena yang
termasuk kategori gejala rohani adalah ingatan, kemunafikan, kejujuran,
ketafaquhan, ghiroh, dan lain-lain. Contoh fenomena yang termasuk kategori
peristiwa sosial adalah pemerintahan, jual beli di pasar, pergaulan di kampus,
di sekolah, di kantor, di masjid, di surau, di kampung dan seterusnya. Adapun
contoh fenomena yang termasuk dalam kategori proses tanda adalah bahasa, karya
seni, tanda tangan, air mata, dan seterusnya.
Perkembangan ilmu terkini menunjukkan bahwa kita banyak menemukan
berbagai ilmu pengetahuan yang pokok persoalan atau objek materialnya sama.
Kedokteran, psikologi, sosiologi, dan antropologi, misalnya, adalah ilmu-ilmu
pengetahuan yang mempunyai pokok persoalan atau objek material yang sama, yaitu
manusia. Semua ilmu itu, baik kedokteran, psikologi, sosiologi, maupun
antropologi berusaha dan bermaksud menemukan, mengetahui, mengungkap,
menjelaskan dan memanfaatkan berbagai hal yang dapat ditemukan, diketahui,
diungkap, dijelaskan, dan dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan
praksis tentang manusia.
Umumnya, berbagai cabang ilmu yang serumpun memiliki objek material yang
sama. Misalnya adalah ilmu politik, salah satu objek yang menjadi sasaran
telaahnya adalah partai politik sebagai objek material. Namun partai politik
yang menjadi objek material ilmu politik itu juga dipelajari atau ditelaah oleh
sosiologi, ilmu menejemen, ilmu komunikasi, ilmu hukum, ilmu agama, filsafat,
dan seterusnya. Lantas, apa perbedaan dari ilmu-ilmu itu? Perbedaan ilmu-ilmu
itu terletak pada bagaimana cara menemukan, mengetahui, mengungkap, dan
menjelaskan hal-hal penting dari pokok persoalan yang menjadi fokus perhatian
ilmuwannya. Akibat dari perbedaan cara menemukan, mengetahui, mengungkap, dan
menjelaskan hal-hal penting dari pokok persoalan yang menjadi sentral masalah
sasaran telaah yang dilakukan ilmuwan menghasilkan jenis pengetahuan yang
berbeda-beda pula. Berarti, hal yang membedakan cabang ilmu satu dengan cabang
ilmu yang lain adalah objek formal yang digunakan ilmuwan untuk menelah sasaran
atau objek material suatu ilmu.
2. Objek Formal
Perbedaan-perbedaan pengetahuan satu dengan pengetahuan yang lain atau
ilmu satu dengan ilmu yang lain pada hakikatnya terletak pada (1) bagaimana cara
pengetahuan itu ditemukan, (2) bagaimana cara pengetahuan itu dirumuskan, dan (3)
bagaimana cara pengetahuan itu dijelaskan oleh ilmuwan. Perbedaan juga
disebabkan oleh prinsip-prinsip berfikir, sifat logika, dan jenis argumentasi
yang digunakan oleh ilmuwan. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan yang mencakup
(1) cara pengetahuan ditemukan, (2) cara pengetahuan dirumuskan, (3) cara
pengetahuan dijelaskan, (4) prinsip-prinsip berfikir, (5) karakteristik logika,
dan (6) jenis argumentasi yang digunakan oleh ilmuwan juga dipahami sebagai objek.
Objek yang berkenaan dengan enam unsur itu merupakan perspektif ilmuwan dalam
memahami objek material.
Objek yang hakikatnya merupakan perspektif ilmuwan dalam menghasilkan
pengetahuan ilmu yang baru itu adalah objek yang terkait dengan bagaimana
pembentukan (to form) pengetahuan
ilmu. Oleh karena itu, objek ini disebut dengan objek formal. Objek ini secara
konvensional dianggap benar, sepanjang ditandai oleh atau diorganisasikan
sesuai dengan konvensi-konvensi berfikir logis dan metodologi yang terorganisir
secara tepat dalam pembentukan ilmu.
Objek formal sering juga disebut perspektif ilmu, poin of view atau poin of
interest, kerangka teoretis, kerangka filosofis atau sebutan lain yang pada
hakikatnya adalah paradigma suatu ilmu. Paradigma
ilmu pada dasarnya adalah cara pandang ilmuwan terkait dengan (1) apa yang
harus di amati dan diteliti, (2) jenis pertanyaan yang dianggap perlu untuk
dipertanyakan dan diteliti untuk ditemukan jawabnya terkai dengan objek
material tertentu, (3) bagaimana pertanyaan-pertanyaan itu dirumuskan secara
terstruktur, (4) bagaimana hasil penelitian ilmiah harus diinterpretasikan.
Jadi, paradigma adalah cakupan dan karakteristik pola berfikir dalam berbagai
disiplin ilmiah atau cakupan unsur pengembangan ilmu dalam konteks
epistemologis yang dilakukan oleh ilmuwan dalam melaksanakan penelitian ilmiah.
Paradigma atau objek formal adalah perspektif yang di dalamnya
terkandung unsur-unsur yang menjadi cakupannya. Unsur-unsur paradigma dalam
natural sciences (ilmu-ilmu kealaman)
memerlukan studi dan pendalaman tersendiri, yang dengan sangat terpaksa tidak
mungkin di paparkan di dalam kesempatan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini
dipaparkan unsur-unsur paradigma untuk ilmu-ilmu sosial-budaya dan humaniora. Unsur-unsur
yang membentuk paradigma atau objek formal dalam ilmu-ilmu sosial-budaya dan
humaniora adalah (1) asumsi-asumsi dasar, (2) nilai-nilai, (3) model, (4)
masalah-masalah yang ingin diselesaikan atau dijawab, (5) konsep-konsep, (6)
metode penelitian, (7) metode analisis, (8) hasil analisis, (9) etnografi atau
representasi. Untuk menggambarkan secara cermat dan lengkap suatu pengetahuan
dalam ilmu tertentu atau dalam penelitian ilmiah tertentu, seorang ilmuwan atau
peneliti bidang ilmu tertentu harus dapat menunjukkan objek materialnya dan
dapat pula menunjukkan ciri-ciri pengetahuan yang dihasilkan sesuai karakter
yang ditampakkan pada objek formalnya.
C.
Bentuk Pernyataan Ilmu
Suatu fenomena yang telah menjadi sasaran atau objek material ilmu akan
diungkap dan dijelaskan sesuai objek formal atau paradigma yang digunakan oleh
ilmuwan atau peneliti. Di dalam mengungkap dan menjelaskan berbagai persoalan
yang ada di balik fenomena yang menjadi sasaran ilmu mengharuskan ilmuwan atau
peneliti untuk menyajikan pernyataan-pernyataan ilmu atau pernyataan ilmiah. Pernyataan
ilmiah itu merupakan kumpulan-kumpulan pernyataan atau kumpulan proposisi yang
memuat pengetahuan ilmiah dari suatu objek material tertentu dan dalam
perspektif tertentu.
Tiap-tiap objek dengan pespektif tertentu atau tiap ilmu pengetahuan
tertentu , atau pula tiap pernyataan ilmiah dalam suatu penelitian ilmiah
memiliki bentuk-bentuk pernyataan yang satu sama lain berbeda. Bentuk
pernyataan ilmiah secara umum dapat dibedakan menjadi bentuk pernyataan (1)
deskriptif, (2) preskriptif, (3) eksposisi pola, dan (4) rekonstruksi historis.
Umumnya, tiap ilmu memiliki bentuk pernyataan yang bersifat khusus. Namun,
bentuk pernyataan tertentu bukan merupakan monopoli ilmu pengetahuan tertentu. Ilmu
pendidikan misalnya memiliki kecenderungan bentuk pernyataan ilmiah yang
bersifat deskriptif dan juga
preskriptif. Ilmu menejemen dan ilmu politik juga cenderung berbentuk
preskriptif. Sedangkan bentuk pernyataan pada ilmu sejarah dan antropologi
cenderung bersifat deskriptif, eksposisi pola, atau rekonstruksi historis.
1. Pernyataan Deskriptif
Bentuk pernyataan deskriptif adalah kumpulan pernyataan yang bercorak
deskripsi, penggambaran, atau pemaparan dengan memberikan perincian mengenai
bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci lain dari fenomena yang menjadi
sasaran. Bentuk pernyataan ini umumnya dapat ditemukan dalam ilmu-ilmu yang
bercork deskriptif seperti misalnya antomi, geografi, geologi, dan seterusnya.
2. Pernyataan Preskriptif
Bentuk pernyataan preskriptif adalah kumpulan pernyataan yang memberikan
petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang seharusnya terjadi
atau yang perlu terjadi, atau sebaiknya terjadi dalam rangka mencapai suatu
fase tertentu. Bentuk pernyataan ini sering dijumpai dalam ilmu-ilmu sosial,
misalnya ilmu pendidikan yang memaparkan petunjuk-petunjuk atau
ketentuan-ketentuan mengajar di dalam proses pembelajaran mencapai tingkat
keberhasilan tertentu. Ilmu administrasi Negara juga menggunakan bentuk
pernyataan demikian karena bentuk pernyataan-pernyataannya cenderung memaparkan
asas-asas, ukuran-ukuran, dan berbagai ketentuan tentang organisasi yang baik,
menejemen yang efektif, atau prosedur kerja yang efisien.
3. Eksposisi Pola
Bentuk pernyataan yang bersifat eksposisi pola adalah pernyataan yang
merangkum paparan pola-pola dalam sekumpulan sifat, cirri, kecenderungan, atau
proses-proses yang terjadi di balik fenomena yang menjadi sasaran penelitian
ilmiah. Antropologi misalnya, biasanya banyak menggunakan bentuk pernyataan
ini, karena banyak menyajikan pemaparan pola-pola kebudayaan suku-suku bangsa.
Sosiologi juga demikian, banyak menyajikan pola-pola perubahan masyarakat
pedesaan menjadi masyarakat perkotaan.
4. Rekonstruksi Historis
Bentuk pernyataan yang bersifat rekonstruksi historis adalah pernyataan
yang menyajikan paparan yang menggambarkan atau menceritakan suatu peristiwa.
Gambaran dan cerita itu disertai dengan penjelasan atau argumentasi yang
diperlukan untuk mencapai pertumbuhan suatu hal di masa lampu, yang lebih baik
sebagai akibat campur tangan manusia maupun karena proses-proses alamiah.
Ilmu-ilmu yang cenderung menggunakan bentuk pernyataan ini adalah ilmu sejarah
atau arkeologi.
D. Isi Pernyataan Ilmu
Ilmu, selain eksis dengan bentuk-bentuk pernyataan atau proposisi-proposisi
tertentu juga eksis dengan isi pernyataan atau isi proposisi ilmu. Pernyataan
atau proposisi ilmu adalah
susunan pernyataan tentang hubungan
antara dua atau beberapa hal yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati
dari objek tertentu. Jadi, pernyataan atau proposisi adalah suatu paparan yang didalamnya mengandung pengakuan kebenaran terhadap objek
ilmiah yang ditemukan, diungkapkan, dan dijelaskan dalam rumusan-rumusan
kalimat. Kandungan atau isi pernyataan atau proposisi ilmu pada hakikatnya
terdiri dari tiga jenis, yaitu (1) prinsip-prinsip, (2) kaidah-kaidah, konsep, dan
(3) teori.
1. Prinsip
Eksistensi ilmu akan tampak manakala di dalam karya ilmiah terdapat
proposisi-proposisi yang mengandung prinsip-prinsip ilmiah. Prinsip ilmiah
adalah suatu pernyataan tentang sistem yang terikat oleh formula logis. Jadi
wujud prinsip adalah statemen atau ide yang secara logika dapat diterima
sebagai sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan. Di dalam ilmu sosial,
pengertian proposisi sering diartikan sebagai paparan pernyataan yang
mengandung makna yang dapat diterapkan pada serangkaian peristiwa untuk menjadi
acuan dalam melakukan tindakan bermakna. Misalnya adalah prinsip equal pay for equal work, prinsip gaji yang sama untuk pekerjaan yang
sama, dapat digunakan sebagai acuan yang benar untuk mengangkat para pegawai
dan mengelola sistem penggajian. Di dalam natural
science, paparan mengenai sistem
dengan formula logis seperti misalnya penjelasan tentang peredaran planet
berdasarkan pengamatan dalam astronomi yang menyatakan bahwa makin dekat suatu
planet dengan matahari, semakin pendek masa perputarannya.
2. Kaidah
Kaidah dalam dunia ilmu pada umumnya atau dalam penelitian ilmiah pada
khususnya adalah pernyataan tentang keteraturan dan/atau keajegan tentang
tertib hubungan antar berbagai unsur suatu fakta yang berulang. Pemahaman
mengenai keberulangan itu dikuatkan melalui penelitian ilmiah, sehingga kaidah
menjadi pernyataan mengenai keteraturan tentang keberulangan yang terjadi di
dalam realitas suatu fenomena yang menjadi objek penelitian ilmiah.
Keajegan atau tertib hubungan antar unsur di dalam realitas suatu
fenomena dapat diperiksa kebenarannya. Kaidah pada umumnya berlaku pada
berbagai fenomena yang sejenis. Keberlakuannya pada fenomena yang sejenis
itulah yang menyebabkan kaidah dapat diperiksa kebenarannya. Apabila ada
proposisi di dalam karya ilmiah yang menyatakan bahwa ada kaidah yang berlaku
dalam fenomena yang diteliti tetapi tidak berlaku dalam fenomena yang lain,
maka proposisi itu patut dipertanyakan kebenarannya.
Kaidah dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan prediksi, oleh
karena itu kaidah juga sering dikatakan sebagai pernyataan prediktif. Kaidah
dapat digunakan sebagai sarana prediksi karena jika di dalam kondisi-kondisi
tertentu dapat ditemui tertib hubungan di dalam unsur-unsurnya, maka kaidah
dapat digunakan untuk meramalkan keadaan atau peristiwa yang akan terjadi. Di
sisi lain, kaidah juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melihat
ke-universal-an suatu tertib hubungan antar unsur yang sifatnya ajeg dalam
suatu fenomena. Keuniversalan itu tampak dari tertib hubungan antar unsur ajeg,
yang ditegaskan dalam pernyataan, yang selalu terjadi dalam kondisi-kondisi
tertentu.
3. Konsep
Hakikat konsep adalah wadah suatu pengertian dari fakta dan/atau realita
tertentu. Manifestasi konsep mewujud dalam tiga unsur yang saling terkait
membentuk satu kesatuan subtansi yaitu pengertian. Unsur-unsur konsep antara
lain adalah (1) simbol, (2) fenomena, dan (3) makna. Ihalauw (2004: 24)
menyatakan bahwa pada hakikatnya konsep adalah kesatuan antara simbol fenomena
dan maknanya, yang digunakan untuk menyatakan makna suatu fenomena. Konsep
apabila digambarkan adalah seperti berikut.
Konstruksi Konsep
Didaptasi
dari Ihalauw (2004: 29) berjudul “Unsur-unsur Pembentuk Konsep”
Konsep di dalam ilmu selalu ada dan bertebaran di berbagai bentuk
pernyataan ilmu. Oleh karena itu, tidak pernah ada ilmu yang eksis tanpa
konsep. Ilmu selalu dinyatakan atau menyatakan dirinya dengan menggunakan konsep.
Konsep mula-mula muncul dalam bentuk simbol yang dapat berupa istilah-istilah, kata-kata
atau tanda-tanda tertentu, yang bermakna, dan digunakan sebagai sarana untuk
memahami, menafsirkan, menganalisis, dan menjelaskan fakta, realita dan peristiwa.
4. Teori
Pada dasarnya kata teori adalah istilah
teknis yang berarti “looking at, viewing,
beholding (memperhatikan, mengamati, memandang)” yang menunjuk atau
berkenaan dengan kontemplasi atau spekulasi, lawan kata dari aksi atau tindakan.
Pada hakikatnya istilah dan pengertian teori sering dihadapkan secara kontras
dengan istilah dan pengertian “praktek” (http://en.wikipedia.org/wiki/Theory).
Salah satu contoh klasik perbedaan antara teori dan praktek adalah
penggunaannya pada ilmu kedokteran. Teori kedokteran menjelaskan tentang
sebab-sebab dan sifat alami tubuh manusia yang sehat dan yang sakit, sedangkan
praktek kedokteran adalah tindakan-tindakan konkrit agar tubuh manusia sehat,
sembuh dari sakit. Dua hal itu saling terkait, tetapi masing-masing bersifat
mandiri, sebab dapat dilaksanakan penelitian kesehatan dan penelitian tentang
penyakit tanpa harus secara praktek melakukan pengobatan terhadap pasien-pasien
yang sakit, dan dapat pula dilakukan penyembuhan seorang pasien tanpa
mengetahui bagaimana penyembuhan bekerja.
Teori dalam pengetahuan ilmiah pada dasarnya adalah sekumpulan proposisi
yang saling berkaitan secara logis. Kumpulan proposisi itu adalah alat untuk
menjelaskan suatu fenomena yang menjadi objek penelitian. Contohnya adalah
teori evolusi yang ditawarkan oleh Darwin. Teori ini berisi proposisi-proposisi
yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk organisme yang lebih rumit berasal dari
sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana (dan primitif) yang berkembang
secara evolutif sepanjang masa.
Teori dalam seni dan filsafat boleh jadi menunjuk pada ide-ide dan/atau
fenomena empiris yang tak mudah untuk diamati secara indera. Teori dalam dunia
ilmu pengetahuan modern disebut teori ilmiah, umumnya dipahami sebagai sarana
untuk menjelaskan fenomena empiris, yang dibuat secara konsisten dengan metode
ilmiah. Teori ilmiah cenderung dideskripsikan sebagai sarana bagi ilmuwan di
lapangan dalam memahami, menguji, membuktikan, menentang, menolak, dan
merekayasa suatu objek. Dalam ilmu pengetahuan modern perbedaan antara teori
dan praktek secara kasar dapat dilihat pada perbedaan antara teori ilmiah
dengan teknologi atau dengan ilmu terapan.
E.
Ciri Pokok Ilmu
Ilmu merupakan
pengetahuan yang memiliki karakteristik, ciri khusus, atau keistimewaan yang
membuat orang menyadari bahwa pengetahuan itu adalah ilmu. Ciri
khusus atau keistimewaan itu merupakan hal penting, karena berguna untuk
membedakan pengetahuan ilmu itu sendiri dengan pengetahuan-pengetahuan lain.
Sifat-sifat yang melekat dan berperan sangat penting itu di sini disebut ciri
pokok ilmu. Ciri-ciri pokok ilmu menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pernyataan
maupun kandungan-kandungan proposisinya harus memiliki sifat-sifat tertentu.
Sifat-sifat yang harus ada dan menjadi ciri pokok ilmu adalah sifat (1) sistematis,
(2) keumuman atau general, (3) rasional, (4) objektif, (5) dapat diverifikasi,
dan (6) komunal.
1. Sistematis
Bentuk-bentuk pernyataan
dan isi kandungan pernyataan ilmu harus bersifat sistematis, karena syarat pengetahuan
dapat berubah menjadi ilmu adalah pengetahuan itu tersusun dalam satu kesatuan sistemik.
Pernyataan atau proposisi-proposisinya berisi pernyataan-pernyataan yang
berhubungan secara fungsional. Pernyataan yang terumuskan berisi uraian-uraian
substansi suatu objek, dan tiap uraian substansi berhubungan satu sama lain
secara teratur dan logis sehingga membentuk sistem yang “bermakna” secara utuh,
menyeluruh, terpadu, dapat berfungsi sebagai sarana untuk menjelaskan rangkaian
antar unsur yang menjadi sebab, akibat
atau konstruksi secara logis suatu obyek.
Setiap ilmu pengetahuan
harus mengandung jabaran suatu hubungan inter dan/atau antar unsur, yang satu
sama lain saling bertalian secara sistematis dari fakta-fakta yang menjadi
objeknya. Ilmu berwujud kumpulan pernyataan atau proposisi sistematik yang di
dalamnya berisi kebenaran. Kebenaran dan sifat sistematik adalah ciri pokok
ilmu. Namun sifat sistematik bukan satu-satunya ciri pokok ilmu.
Sejumlah pernyataan,
meskipun benar seperti misalnya peribahasa atau ucapan-ucapan arif dari orang
yang bijak, tidak dapat serta merta menjadi ilmu jika tidak dapat disusun
menjadi suatu kebulatan pemahaman yang komprehensip, yang di dalamnya terdapat
unsur yang saling berkaitan secara sistemik. Namun, fakta-fakta yang disusun
oleh seseorang secara sistematik semata-mata juga tidak dapat serta merta
disebut ilmu, karena diperlukan ciri pokok yang lain. Sebab, sifat sistematik
bukan satu-satunya ciri pokok ilmu. Oleh karena itu, ciri sistematik harus
dilengkapi lagi dengan ciri ilmu yang lain yaitu bersifat umum atau general.
2. Keumumam/General
Ilmu mesti bersifat umum
atau general, karena hakikat ilmu adalah merangkum berbagai fenomena yang luas.
Konsep-konsep yang dirumuskan, yang digunakan untuk menjelaskan suatu objek
juga dapat diberlakukan secara luas atau umum, baik dalam pembahasannya maupun dalam
penerapannya. Di dalam ilmu manajemen, misalnya, jika di dalamnya berisi penjelasan
bagaimana seharusnya seorang manager
mengelola (merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol) suatu
bisnis, maka penjelasan yang baik harus mengandung konsep-konsep yang berlaku
untuk bisnis tertentu maupun bisnis yang lain.
Di atas dikatakan bahwa
bentuk-bentuk dan isi pernyataan ilmu harus bersifat sistematis, karena pengetahuan
ilmu selalu tersusun dalam satu kesatuan sistemik. Namun, tidak semua bentuk
dan isi pernyataan yang sistematis dapat serta merta disebut ilmu. Contoh
konkrit mengenai hal ini adalah buku petunjuk telepon, yang tersusun secara
sistematis. Bentuk dan isi pernyataan yang ada di dalam buku petunjuk telepon
tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan ilmu, walaupun salah satu ciri pokok
pengetahuan ilmu adalah sistematis. Karena, bentuk dan isi pernyataan yang ada
di dalam buku petunjuk telepon sama sekali tidak ada ciri keumumannya. Kumpulan
informasi di dalam buku itu hanya menunjuk pada orang-orang tertentu, nomor
tertentu, alamat tertentu, dan hal-hal tertentu yang lain.
3. Rasional
Sifat lain yang menjadi
ciri pokok ilmu adalah rasional, karena konstruk dan wujud pengetahuan ilmu harus
diperoleh dan dirumuskan dengan menggunakan rasio. Perolehan dan perumusan itu dilakukan oleh ilmuwan dalam
proses berfikir ketika berusaha memahami suatu objek. Ini berarti, ilmu dirumuskan
menggunakan prinsip berfikir yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Perolehan dan
perumusan yang menggunakan rasio itu mengindikasikan bahwa proses mendapatkan
hasil dan hasil pengetahuan yang didapat dan diterangkan oleh ilmuwan harus
dapat diterima oleh akal manusia. Mengapa harus dapat diterima akal, sebab akal adalah alat rohaniah manusia yang dapat
membedakan benar dan salah, dapat mengingat, dapat menyimpulkan, dapat menganalisis,
dan dapat menilai suatu pengalaman. Jadi, ilmu harus rasional, dan ilmu mesti mengandung
proses dan konstruksi pengetahuan yang dapat dimengerti sesuai dengan fakta dan
realita objeknya. Tuntutan terhadap rasionalitas ilmu mengindikasikan bahwa
dalam perolehan dan penyusunannya terdapat tata cara dan prosedur yang harus
dipatuhi.
4. Objektif
Ciri pokok ilmu yang
lain adalah objektif. Artinya, ilmuwan dalam merumuskan pengetahuan ilmu harus
bersikap objektif. Keobjektifan harus terjadi di saat ilmuwan mengkaji objek
dan menemukan kebenaran ilmiah. Keobjektifan mengharuskan ilmuwan tidak melibatkan
emosi, selera, dan/atau kepentingan pribadi yang subjektif pada saat berproses,
berfikir, mengumpulkan data, menentukan data, menganalisis, dan menyimpulkan
pengetahuan tentang objek. Objektifitas
dalam ilmu mengharuskan ilmuwan dalam menangkap, merumuskan, dan memaparkan sifat
alamiah objek yang diteliti/dipelajari tidak boleh berpihak, sehingga
penalarannya dapat diterima semua pihak, pernyataan yang dipaparkan juga bukan semata-mata
hasil dugaan, hasil prasangka, atau manifestasi nilai-nilai yang dianut oleh
subjek tertentu.
5. Dapat Diverifikasi
Ciri pokok ilmu yang
lain adalah harus dapat diperiksa, diteliti, atau diuji kembali kebenarannya oleh
masyarakat ilmuwan. Oleh karena itu, ilmu harus dapat dibuktikan atau dapat
diverifikasi. Verifikasi adalah sarana untuk mengontrol kesesuaian
pernyataan-pernyataan ilmu, sarana untuk memeriksa, meneliti, atau menguji
kembali eksisten sistematisasinya, keumumannya, rasionalitasnya, dan objektivitasnya.
Verifikasi juga dapat berguna untuk memeriksa, meneliti, atau menguji korespondensi,
koherensi, dan kesesuaian antara pernyataan ilmiah dengan objeknya.
6. Komunal
Ciri pokok terakhir ilmu
adalah komunal. Ilmu pengetahuan yang telah dipublisir dengan sendirinya
menjadi milik dan/atau dikuasai publik (menjadi public knowledge), tanpa
mengurangi hak atas kekayaan intelektual (intellectul
property right) yang melekat pada inventor maupun kreator yang merumuskan
ilmu pengetahuan itu. Hasil penelitian yang menjadi khasanah keilmuan tidak mungkin,
dan tak elok hanya disimpan atau disembunyikan. Hasil penelitian harus disebarluaskan
oleh para penelitinya.
F.
Pembagian Sistematis Ilmu
Pengetahuan ilmu adalah pengetahuan yang wujudnya sangat beragam. Oleh
karena itu, mengenali dan memahami pengetahuan ilmu tidak dapat dilakukan
secara simultan. Untuk itu diperlukan pembagian sistematis di dalam menjelaskan
objek ilmu. Pembagian sistematis eksis dalam bentuk rincian. Jadi, tidak
ada ilmu tanpa
rincian. Sebagai contoh adalah objek yang kita diskusikan ini, yang berkenaan
dengan konstruksi ilmu. Konstruksi ilmu terdiri dari (1) objek ilmu, (2) bentuk
pernyataan ilmu, (3) ragam proposisi, (4) ciri pokok, dan (5) pembagian
sistematis ilmu. Objek ilmu terdiri dari (1.a) objek material, dan (1.b) objek
formal. Bentuk pernyatan ilmu terdiri dari (2.a) pernyaaan deskriptif, (2.b)
pernyataan preskriptif, (2.c) eksposisi pola, dan (2.d) rekonstruksi historis. Pernyataan
atau proposisi ilmu selalu memiliki tiga jenis kandungan yang terdiri dari
(3.a) prinsip-prinsip, (3.b) kaidah-kaidah, dan (3.c) teori. Ciri pokok ilmu
adalah sifat yang melekat pada pengetahuan, yaitu sifat (4.a) sistematis, (4.b)
keumuman/general, (4.c) rasional, (4.d) objektif, (4.e) dapat diverifiksi, dan
(4.f) komunal. Pembagian sistematis konstruksi ilmu apabila digambarkan dalam
bentuk diagram adalah seperti berikut.
G.
Penutup
Paparan di atas menggambarkan eksistensi ilmu pengetahuan ilmiah dilihat
dari sisi konstruksi dan sistemnya. Pengetahuan ilmiah, mesti memiliki (1)
objek, (2) bentuk-bentuk pernyataan, (3) isi pernyataan, (4) ciri pokok, dan
(5) pembagian sistematis. Objek ilmu terbagi dalam dua kategori yaitu objek
material dan objek formal. Bentuk-bentuk pernyataan pengetahuan ilmiah terdiri
dari pernyataan deskriptif, pernyataan preskriptif, pernyataan berupa eksposisi
pola, dan/atau pernyataan yang berupa rekonstruksi historis. Isi pernyataannya
meliputi prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, dan teori. Ciri pokok pengetahuan
ilmiah adalah bersifat sistematis, general atau umum, rasional, objektif, dapat
diverifikasi dan komunal. Di dalam pengetahuan ilmiah harus ada pembagian
sistematis, yang harus dilaksanakan peneliti dalam menganalisi objek yang
diteliti.
H.
Daftar Acuan
Bibliografi
Freshwater, D., Sherwood, G. & Drury, V. (2006)
“International Research Collaboration”. Journal
of Research in Nursing, 11 (4), pp 9295–303.
Hunt, S.D. (2003). Controversy
in Marketing Theory: For Reason, Realism, Truth, and Objectivity. Connecticut:
M.E. Sharpe. p. 18.
Ihalauw, J. J.O.I. 2004. Bangunan Teori. Satya Wacana University Press. Salatiga.
Klubertanz. G.P. 1955. Introduction to the Philosophy of Being. New York:
Appleton-Century-Crofts.
Kragh, H. 1989. An Intoduction to the Historiography
of Science, Cambridge University Press p.138.
Locke, J. (1838).
An Essay Concerning Human Understanding.
New York: Thomas Davison.
MacMorris, N. 1989. The Natures of Science. New
York: Fairleigh Dickinson University Press. pp. 31–33.
Popper, K .2002.. The
Logic of Scientific Discovery (2nd English ed.). New York, NY: Routledge
Classics. p. 3.
Sunarto, B. 2010. Epistemologi
Karawitan Kontemporer Aloysius Suwardi. Disertasi. Fakultas Filsafat.
Universitas Gadjah Mada.
Vardiansyah,
D. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi.
Jakarta: Indeks.
Wilson, E. 1999. Consilience: The Unity of
Knowledge. New York: Vintage.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar