SANGHYANG TIKORO: DANAU PURBA BANDUNG JEBOL DAN LEGENDA SANGKURIANG
Oleh:
Denis Setiaji
Etnomusikologi
FAKULTAS SENI
PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI
INDONESIA SURAKARTA
2012
Sanghyang Tikoro merupakan salah satu tempat yang berunsur cerita foklor
di Bandung Jawa Barat yang menyimpan banyak misteri dan pertanyaan di
masyarakat. Gua purba Sanghyang Tikoro masih belum banyak diketahui masyarakat
Indonesia, bahkan masyarakat Jawa Barat pun banyak yang belum mengenal cerita
mengenai Sanghyang Tikoro. Oleh karena itu penelitian emik sebagai langkah awal
penulis dalam mempelajari foklor khususnya pada cerita Sanghyang Tikoro perlu
diangkat untuk menambah pengetahuan kita akan foklor nusantara yang banyak dan
beragam. Selain itu penulis juga ingin mengetahui secara emik, artinya
bagaimana cara pandang masyarakat terhadap cerita atau mitos yang berkaitan
dengan Sanghyang Tikoro.
Adapun
cara mendapatkan data dari penelitian emik, menggunakan metode observasi dan
wawancara terhadap narasumber dilapangan sebagai landasan dasar bahan analisis
untuk kemudian dikembangkan dalam bentuk tulisan. Narasumber dimintai keterangan
mengenai apa yang mereka fikir dan mereka pandang dari adanya fenomena Sanghyang
Tikoro. Selain itu, penulis juga mengutip informasi tambahan media internet
yang dinilai dapat melengkapi serta memberi bobot lebih terhadap tulisan ini.
Sangkuriang dan Sanghyang
Tikoro
Sanghyang
Tikoro merupakan legenda masyarakat pajajaran berkaitan dengan asal mula
terbentuknya Bandung raya. Sanghyang Tikoro adalah sebuah lubang atau gua
tempat mengalirnya air menuju sungai citarum. Lubang tersebut dalam legenda
masyarakat dipercaya sebagai tempat jebolnya danau Bandung purba. Danau Bandung
purba yang sebelumnya penuh dengan air menjadi surut kemudian terbentuklah Bandung.
Kata
Sanghyang Tikoro dalam bahasa pewayangan sunda, sanghyang artinya dewa
sedangkan tikoro artinya kerongkongan. Bila diarti katakan Sanghyang Tikoro
adalah dewa kerongkongan. Belum ada alasan pasti kenapa masyarakat menamai
lobang aliran air dekat danau saguling tersebut dinamai Sanghyang Tikoro.
Legenda
Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda
ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem dan berasal
dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut,
ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan atau Pangeran Bujangga Manik alias Ameng
Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Pulau Bali
pada akhir abad ke-15. Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik
tiba ditempat yang sekarang menjadi Kota Bandung. Dia boleh disebut sebagai
saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini bersama legendanya
(udugudug.wordpress.com).
Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik
tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung . Dia menjadi
saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat dan legendanya. Laporannya
adalah sebagai berikut:
Leumpang
aing ka baratkeun (Aku
berjalan ke arah barat)
Datang ka
Bukit Patenggeng (kemudian
datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala
Sang Kuriang (tempat
legenda Sang Kuriang)
Masa dek
nyitu Ci tarum (Waktu
akan membendung Citarum)
Burung
tembey kasiangan (tapi
gagal karena kesiangan)
(wikipedia, 27 Juni 2012, pkl 21.35)
Di
masyarakat, Sanghyang Tikoro sering dikaitkan dengan legenda Sangkuriang-dayang
sumbi. Cerita Sangkuriang merupakan legenda sasakala
terbentuknya gunung tangkuban perahu, gunung burangrang, gunung manglayang,
dan Sanghyang Tikoro. Tempat-tempat tersebut terbentuk akibat murkanya Sangkuriang
karena tidak dapat menyelesaikan bendungan serta perahu besar dalam waktu satu
malam sebagai syarat untuk menikahi dayang sumbi atau ibunya sendiri.
Cerita Sangkuriang sudah tidak asing lagi di
telinga masyarakat Indonesia. Sangkuriang merupakan ksatria sakti mandraguna
yang mencintai dan ingin menikahi ibunya sendiri yaitu dayang sumbi. Namun
dayang sumbi tau bahwa hal seperti itu tidak boleh dilakukan maka untuk
menggagalkan pernikahan tersebut dia memberikan beberapa syarat berat. Sangkuriang
harus membuat bendungan dan sampan besar yang harus diselesaikan dalam waktu
semalam. Karena Sangkuriang sangat sakti tentunya syarat tersebut dia sanggupi.
Sangkuriang dibantu para jin dan mahkluk halus lainnya mengerjakan syarat
tersebut. Dayang sumbi pun menjadi cemas dan takut Sangkuriang dapat menyelesaikan
syarat yang diberikannya. Dayang sumbi pun berdoa kepada sanghyang widi agar Sangkuriang
digagalkan. Akhirnya Sangkuriangpun
gagal dalam mengerjakan syaratnya.
Ketika fajar menyingsing di ufuk timur, Sangkuriang
menjadi gusar dan di puncak kemurkaannya bendungan yang ada di Sanghyang Tikoro
di jebolnya, sumbat aliran sungai citarum yang di buatnya dilemparkan ke arah
timur menjadi gunung manglayang, ranting-ranting yang digunakan untuk membuat
bendungan dilemparkan ke utara menjadi gunung burangrang, perahu yang
dikerjakannya dengan bersusah payah semalaman dia tendang ke arah utara
sehingga terbentuklah gunung tangkuban perahu.
Dilihat
dari cerita Sangkuriang, Sanghyang Tikoro adalah akibat dari murkanya Sangkuriang
sehingga danau Bandung purba jebol dan surut menjadi daratan. Konon
tempat-tempat diatas sering digunakan orang-orang tertentu untuk menimba “ilmu”
tertentu. Seperti halnya Sanghyang Tikoro yang terletak antara kecamatan Rajamandalala
dan kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Sangyang tikoro berada
disamping PLTA Saguling sekitar 17km dari pusat bendungan dan berada diwilayah
turbin terakhir. Memang tempatnya agak tersembunyi sehingga jarang banyak orang
yang mengetahui langsung bagaimana bentuk Sanghyang Tikoro. Karena dianggap keramat
tidak satupun tangan orang jahil yang berani merusaknya.
Pandangan dari Masyarakat
Sekitar
Menurut
beberapa narasumber yang berdomisili di sekitar wilayah Rajamandalala, mereka
memiliki pendapat yang beragam. Ada yang berpendapat menuju titik dari benang
merah cerita masyarakat pada umumnya adapula yang tidak percaya mengenai
legenda Sanghyang Tikoro serta mitos-mitos yang berkembang disekitarnya.
Narasumber ada yang mengemukakan mengenai larangan-larangan terhadap Sanghyang
Tikoro, kemudian mengenai orang-orang sakti yang kehidupannya sempat berkaitan
dengan keberadaan Sanghyang Tikoro dan ada pula yang berpendapat mengenai
asal-mula Sanghyang Tikoro berdasarkan cerita rakyat namun sebenarnya tidak
begitu percaya dengan mitos tersebut.
Narasumber
pertama dalam interview yaitu Dasman (40 tahun) menyebutkan,
“
Sanghyang Tikoro mah tikapungkur oge tos
aya, malihan waktos Bandung masih cai hungkul oge tos aya nanging tacan ageung. Lami-lami mereun da teras weh ka
gorogotan ku cai nga ageungan, janten weh saalit-saalit Bandung nu pinuh cai
teh nyaatan. Perkawis Sanghyang Tikoro teh aya hubunganna sareng carita Sangkuriang
wallahualam eta mah namina oge dongeng. Ari abdi mah teu patos percanten kanu
kitu. Cenah ceuk beja didinya teh ulah sagawayah atanapi kumaha, intinamah eta
teh salah sawios kaendahan tigusti nu ku urang salaku manusa kedah dijaga,
dirawat, supaya kaendahana tetep ka jagi. Enyage ayeuna tos rada karuksak ku
aliran cai limbah ti pabrik-pabrik palebah hulu Citarum”
Dalam
bahasa Indonesia artinya,“Sanghyang Tikoro telah ada sejak dulu, bahkan ketika Bandung
masih air semua telah ada tetapi masih kecil (lubang Sanghyang Tikoro).
Lama-kelamaan sepertinya terus terkikis oleh air, kemudian membesar. Jadi
sedikit demi sedikit Bandung yang penuh dengan air menjadi surut. Kaitan Sanghyang
Tikoro dengan cerita Sangkuriang itu wallahualam
namanya juga dongeng. Saya sendiri tidak terlalu percaya hal tersebut. Kata
orang ditempat itu tidak boleh “sembarangan”(dalam berprilaku, berucap dsb).
intinya itu(Sanghyang Tikoro) merupakan salah satu keindahan yang dari tuhan
yang oleh kita sebagai manusia harus dijaga, dirawat, supaya keindahannya tetap
terjaga. Walaupun sekarang sudah sedikit tercemari oleh aliran air limbah
pabrik-pabrik dari arah hulu Citarum”.
Narasumber
pertama mengutarakan bahwa lubang gua purba Sanghyang Tikoro memang telah ada
sejak lama namun masih kecil. Memang belum jelas pula waktu tepatnya, karena ia
juga hanya mendapat informasi secara turun-temurun menurut rumor yang ada di
masyarakat. Sebelum menjadi gua purba, Sanghyang Tikoro memiliki ukuran yang
tidak terlalu besar, ia percaya bahwa lobang tersebut terjadi karena terkikis
oleh air kemudian membesar. Disini juga masih kurang ada kejelasan mengenai air
yang mengikis tersebut berasal. Memang secara logika pernyataan tersebut masuk
akal, karena air dapat mengikis tanah bahkan jenis batuan. Namun dalam
pernyataan selanjutnya ia menganggap bahwa Sanghyang Tikoro dengan cerita Sangkuriang
tersebut diragukan ke benarannya, karena hanya sebuah cerita rakyat sunda yang
mengalir di seluruh palung hati masyarakat Bandung pada umumnya. Ia juga
menyebut bahwa di Sanghyang Tikoro menurut mitos yang berkembang disekitar,
orang yang mendatangi kawasan tersebut, tidak boleh sembarangan dalam berprilaku,
berkata-kata, dan sebagainya yang dianggap dapat membahayakan keselamatan jiwa
dari orang yang bersangkutan. Dalam hal ini yang membahayakan adalah
mahkluk-mahkluk lain (ghaib) penjaga atau yang mendiami disekitar Sanghyang
Tikoro. Diakhir dia berpesan bahwa yang
harus diutamakan adalah tugas manusia untuk menjaga keindahan alam anugerah
sang kuasa.
Narasumber
kedua adalah Tatang Supriyatna seorang pegawai perkebunan di PTPN gunung halu,
tetapi berdomisili di Rajamandalala. Ia berpendapat mengenai Sanghyang Tikoro
dibawah ini:
“ilaharna di Sanghyang Tikoro,
daerah Sanghyang Tikoro mah teu kengeng sangeunahna dina ucapan, sikep, margi
seueur istilahna anu jail ka jelema anu henteu ngajaga ka dirina. Seueur oge
pami dinten anu di anggep sakral aya nu tarapa, boh nu hoyong kengeng elmu,
jeung sajabana da bapa ge teu patos terang. Pami kalebetan nyere atanapi bulu,
buuk cenah mah sok aya sora ngajerit di jero Sanghyang Tikoro teh. Tapi da bapa
oge salami linggih didieu tacan pernah ngadangu sora kitu”.
Arti
dalam bahasa Indonesia adalah,”Biasanya di Sanghyang Tikoro, daerah Sanghyang
Tikoro itu tidak boleh sembarangan dalam ucapan, sikap, karena banyak
istilahnya yang jail pada orang yang tidak bisa menjaga terhadap diri sindiri.
Banyak juga apabila dalam hari yang dianggap sakral ada yang bertapa, ada yang
menginginkan mendapatkan “ilmu”, dan sebagainya karena saya juga kurang tahu.
Bila masuk(kedalam Sanghyang Tikoro) sebatang lidi atau bulu, rambut, sering
ada suara menjerit di dalam Sanghyang Tikoro. Tapi bapak juga selama menetap
disini belum pernah mendengar suara tersebut”.
Ia
beranggapan bahwa orang yang datang ke sekitar Sanghyang Tikoro tidak boleh
bertingkah(negatif) seenaknya karena sering ada mahkluk jail yang akan membuat
celaka pada orang itu. Pendapat tersebut memang mirip dengan narasumber pertama
namun perbedaannya, narasumber kedua sepertinya lebih percaya terhadap mitos
yang beredar di masyarakat. Ada informasi yang mirip dengan artikel yang
penulis unduh dari website, bahwa bila masuk sebatang lidi dan sehelai rambut
saja kedalam Sanghyang Tikoro maka akan terdengar suara jeritan dari dalam
lobang tersebut. Namun, ia sendiri belum pernah mengalami langsung fenomena mistis yang ada di gua purba
tersebut.
Narasumber
terakhir yang penulis temui yaitu Dadin Tarmana seorang pedagang jajanan warung
dan berdomisili asli desa Saguling. Dari hasil wawancara dengannya penulis
mendapat informasi yang belum pernah ditemukan di website dan sumber lainnya.
Informasi tersebut berkenaan dengan penjaga Sanghyang Tikoro yang merupakan
utusan raja. Ia mengatakan,
“Sanghyang Tikoro teh jang kapungkur mah
sok aya jelema nu ngajagi, salah
sawiosna raden hyang. Tah dipalih tonggoh oge aya tempat kanggo ziarah ka raden
hyang teh. Biasanamah sok seueur nu jarah kadinya teh. Aya oge nu dongkap
kadinya teh gaduh niatan teu leres jang. Naon weh da rupi-rupi kahoyong jelema
mah. Tah kapungkur raden hyang teh ceuk kolot baheula mah utusan raja pikeun
ngajaga daerah sabudeureun Rajamandalala kalebet Sanghyang Tikoro oge.
Sanghyang
Tikoro itu dik dahulu suka ada orang yang menjaga, salah satunya raden hyang.
Di ujung atas(arah barat daya) juga ada situs dan tempat untuk berziarah kepada
raden hyang. Biasanya banyak yang berziarah ke sana. Adapula yang datang kesana
punya niat yang kurang baik. Apapun karena keinginan manusia itu macam-macam.
Menurut orang tua zaman dulu raden hyang adalah utusan raja untuk menjaga
daerah sekeliling Rajamandalala termasuk Sanghyang Tikoro.
Dadin
menegaskan bahwa daerah Sanghyang Tikoro dan sekitarnya pada zaman dulu
memiliki penjaga bernama raden hyang. Raden Hyang disebut sebagai utusan dari
raja, apakah mungkin Prabu Siliwangi? Mungkin saja karena Rajamandalala
merupakan daerah kekuasaan dari kerajaan Pajajaran. Situs dan tempat untuk
berziarah kepada Raden Hyang pun letaknya tidak jauh dari Sanghyang Tikoro,
kurang lebih sekitar 800 meter. Ada informasi pula bahwa beberapa orang datang
berziarah dengan maksud-maksud tertentu. Akan tetapi informasi mengenai Raden
Hyang belum begitu jelas. Apakah dia benar sebagai penjaga?atau mungkin punya
tujuan lain? Wallahualam
Ketiga
pendapat diatas merupakan sampel dari pikiran dan pengetahuan yang ada di
masyarakat dalam memandang Sanghyang
Tikoro. Perlu disampaikan pula, bahwa bagaimanapun perbedaan mereka berasumsi,
entah itu positif ataupun negatif, rasa
bangga karena telah memiliki Sanghyang Tikoro sebagai situs gua purbakala serta
segenap cerita foklor yang ada dibalik ke indahannya tetap ada dalam jiwa
setiap narasumber khususnya dan masyarakat Bandung pada umumnya.
Pada
waktu-waktu tertentu menurut masyarakat sekitar banyak orang yang terlihat
sedang bertapa disekitar Sanghyang Tikoro. Di masyarakat pula terdapat beberapa
mitos seperti apabila kedalam lobang Sanghyang Tikoro dibuang sebatang lidi
atau sehelai rambut maka akan terdengar suara jeritan yang sangat pilu ketika
hal itu terjadi masyarakat mempercayai bahwa Bandung akan tenggelam dan kembali
menjadi danau kemudian ada pula yang menyebutkan bahwa segala apapun yang masuk
kedalam lobang Sanghyang Tikoro semisal batu atau kayu akan hancur. Mungkin ini
salah satu alasan mengapa dinamakan Sanghyang Tikoro (tikoro merupakan organ
tempat masuknya segala macam makanan dan pasti akan hancur dicerna). Hal
tersebut mungkin terjadi dengan struktur lobang gua yang berbatu dan tidak rata
sehingga, benda seperti kayu saat terbawa derasnya air, akan berbentura dengan
batuan di dinding gua.
Bandung Menurut Aspek Ilmu
Geologi
Hingga
sekarang belum ada satupun orang yang berani masuk kedalam gua Sanghyang Tikoro
sehingga tidak ada yang berani memastikan berapa panjang gua Sanghyang Tikoro
tersebut. Ada yang menyebutkan panjangnya mencapai 800 meter. Konon air yang
masuk ke dalam Sanghyang Tikoro tidak seluruhnya mengalir kembali ke sungai
citarum, tapi sebagian masuk kedalam tanah. Karena itulah orang menyamakannya
dengan tikoro. Jelas sekali terjadi
perbedaan pendapat tentang asal muasal terbentuknya Sanghyang Tikoro, gunung
tangkuban perahu, gunung burangrang versi cerita Sangkuriang dengan hasil ilmu
pengetahuan. Versi ilmiah hasil penelitian ahli geologi, Sanghyang Tikoro,
gunung tangkuban perahu, dan gunung burangrang terbentuk akibat meletusnya
Gunung Sunda. Sekitar
20-30 juta tahun yang lalu daerah tersebut adalah terumbu karang indah dengan
kedalaman sekitar 10-20 meter. Terbentuknya gua bawah tanah tersebut
membuktikan bagaimana hebatnya proses erosi yang dilakukan aliran Citarum
hingga mampu melubangi batuan kapur yang keras(historiology.com).
Dahsyatnya
letusan mengakibatkan seluruh permukaan badannya hancur tak bersisa. Setelah
letusan, yang tersisa hanyalah
lubang-lubang lekukan yang dalam dengan muntahan laharnya yang sangat panas.
Karena banyaknya mengeluarkan lahar panas, menyebabkan sungai didaerah
Batujajar, Cililin, dan Padalarang tertimbun dan berubah menjadi lahar dingin.
Lama kelamaan menggunung dan membentuk sebuah telaga yang kemudian populer
dengan sebutan Talaga Bandung.
Tanah
di Padalarang dan Cililin umumnya mengandung kapur. Namun sedikit demi sedikit
akhirnya terkikis membentuk lubang aliran yang kelak dikenal dengan Sanghyang
Tikoro. Menurut para Geolog di Bandung, sebenarnya Sanghyang Tikoro adalah
sebuah gua yang berbahan dasar batu gamping yang bagian bawahnya dilalui aliran
air sungai Citarum yang deras. Banyak
orang percaya bahwa gua ini adalah tempat bobolnya Danau Bandung Purba. Padahal
dalam buku Geowisata Sejarah Bumi Bandung yang ditulis T.Bachtiar bersama
rekan-rekan dari Riset Cekungan Bandung, menyatakan bahwa bobolnya danau
tersebut bukan di sini melainkan di daerah Pasir Kiara dan Pasir Larang.
Sangkuriang dan Falsafah Sunda
Dalam
satu artikel yang penulis dapatkan dari suatu website, berisi mengenai makna
filosofos serta falsafah dari cerita Sangkuriang termasuk didalamnya Sanghyang
Tikoro. Menurut abah Surya atau abah Hidayat Suryalaga, mantan Rektor Itenas Bandung,
legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan
(Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih
bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri
kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan
melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi,
Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling
(teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang
terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis,
yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan
lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah
kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan
dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul).
Kesombongannya pula yang mempengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan
meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang
berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di
dunia (menuju ke arah Timur). Pada ahirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun
tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang
dengan Dayang Sumbi).
Walau
demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang
Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan.
Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang)
harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang,
interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu
satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai
kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu
keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri
(pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari
sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon
sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit
kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya
(tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan
yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya
berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
Betapa
mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang
Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang
Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan
(boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego
Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”.
Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia
transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung
Tangkubanparahu).
Walau
demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang
Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat
luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang
Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang
pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
Akhir
kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya
(Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat
dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran
proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau
tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong
goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke
dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat. (Sanghyang Tikoro
= kerongkongan, genggerong).
Kesimpulan
Sanghyang
Tikoro merupakan situs gua purba kala yang banyak menyimpan cerita di balik
keunikan dan keeksotisnya. Salah satunya adalah kaitan dengan legenda murkanya Sangkuriang
serta hubungan jebolnya danau purba Bandung.
Mitos-mitos yang mengiringi pun beragam dari mulai mahkluk-mahkluk gaib
yang akan mencelakai orang tidak sopan sampai suara jeritan yang terdengar apabila
sehelai rambut masuk ke dalam lobang tersebut. Namun, secara hukum berpikir
benar hal tersebut kurang masuk nalar. Cerita tentunya membuat banyak
pertanyaan dalam benak kita, tetapi pertanyaan yang paling penting apakah kita
sebagai manusia dapat menyelami makna dari fenomena foklor yang terjadi? Apa
tujuannya foklor tersebut? Serta adakah manfaat yang dapat kita ambil dari symbolic advice yang di buat oleh
para nenek moyang kita?
Dalam
ilmu Antropologi manusia disebutkan sebagai animal
symbolicum, artinya manusia adalah mahkluk yang selalu menggunakan simbol.
Tak terkecuali cerita foklor di Sanghyang Tikoro. Hampir dipastikan bahwa
cerita tersebut merupakan salah satu simbol untuk kepentingan tertentu yang
hubungannya dengan kehidupan manusia. Diperlukan penelitian lebih mendalam atau
secara etik untuk mengungkap lebih dalam cerita dibalik Sanghyang Tikoro.
Sebagai mahkluk tuhan tentunya segala sesuatu kita
kembalikan kepada-Nya, sang indah sang kuasa atas segala sesuatu di dunia ini.
Khususnya fenomena keindahan, keangkeran, serta kewibawaan situs gua puba Sanghyang
Tikoro wajib disyukuri dengan pikir dan tindakan. Tentunya tindakan kita
sebagai manusia yaitu menjaga agar alam tidak selalu dieksploitasi oleh tangan
manusia sendiri untuk kepentingan yang bersifat pragmatis.
Sumber:
Historiology.bolgspot.com
Udug-udug.com
Wikipedia.com