Pendidikan Seksual pada Joged Bumbung
Bali merupakan
wilayah dengan pemeluk agama Hindu terbesar di Indonesia. Agama Hindu identik dengan
berbagai macam ritual. Lazimnya berbagai ritual maupun kegiatan lainnya yang
non ritual tidak lepas dengan kesenian, khususnya seni pertunjukan. Berbagai
upacara dalam kegiatan yang dilakukan untuk ritual dalam Panca Yatnya ataupun media mencapai Tri Hita Karana (tiga jalan mencari kedamaian). Kegiatan
pertunjukan di Bali diantaranya, musik (gamelan Bali), Tari, Wayang, Teatrikal dan
sebagainya. Kesenian khususnya seni
pertunjukan berperan penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
Bali dikenal memiliki
berbagai macam seni pertunjukan, khususnya tari seperti, Tari Gambuh, Barong,
Rangda, Sanghyang, Janger, Joged, kecak
(cak) dan sebagainya. Jenis tari tersebut ada yang bersifat sakral sebagai
ritual, seperti untuk persembahan untuk sanghyang
widi wasa adapula yang hanya bersifat hiburan atau sebagai pariwisata.
Tentunya tari-tari Bali merupakan objek yang menarik perhatian turis, baik
domestik maupun mancanegara.
Salah satu tarian yang
menarik bagi masyarakat maupun pengunjung Bali ialah Tari Bumbung atau lebih
familiar dengan sebutan Joget Bumbung. Joged Bumbung merupakan tari pergaulan yang sangat populer di Bali. Joged Bumbung diiringi oleh Gerantang berlaras slendro. Gerantang ini asal mulanya dari Bumbung Gebyog yang sekarang masih ada di daerah Kabupaten Tabanan
dan Jembrana. Gamelan Bumbung tersebut digunakan untuk mengiringi si penari Ngibing baik sendiri maupun berpasangan
dengan penonton. Joged Bumbung
merupakan hiburan yang cukup semarak dan meriah bagi masyarakat Bali.
Tari ini memiliki pola gerak yang agak bebas, lincah, dan dinamis,
yang diambil dari Legong maupun Kekebyaran dan dibawakan secara
improvisatif. Si penari melakukan gerakan-gerakan atraktif yang menarik
penonton. Tidak hanya lincah dan dinamis, unsur bebas dalam gerakan Joged Bumbung cukup menarik.
Gerakan-gerakan goyang seperti dalam musik dangdut koplo yang berkesan “vulgar”
dan menantang hasrat para kaum lelaki disajiakan secara terbuka bagi siapapun.
Joged Bumbung tersebut ditonton oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak, remaja,
sampai dewasa. Adegan-adegan yang termasuk “panas” dilakukan penari dengan
pasangannya tersebut tentunya juga dilihat oleh anak-anak dan para remaja. Hal
tersebut mungkin dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan kedewasaan si
penonton muda. Gerakan bergoyang dengan saling berhadapan secara dekat, serta
sesekali melakukan adegan memeluk, dan gerakan lainnya yang berbau seksualitas,
tentunya tidak menutup kemungkinan membuat
penonton khususnya remaja dan anak-anak mendapat pengetahuan seksual dari
sajian Joged tersebut.
Melakukan aktivitas menonton Joged
Bumbung secara continue oleh
anak-anak dan remaja dapat mempengaruhi
psikis mereka terutama menambah pengalaman dalam fikiran mereka hal-hal yang
bersifat dewasa. Hal ini mungkin saja merupakan salah satu media pendidikan
seksual yang dilakukan masyarakat Bali kepada anak-anak dan remaja melalui
media kesenian. Namun, statement diatas
masih merupakan asumsi dasar yang akan dibuktikan kebenarannya oleh penulis.
·
Joged Bumbung dan Masyarakat Bali
Joged Bumbung[1] adalah semacam tari pergaulan muda-mudi, diiringi dengan gamelan yang
terbuat dari bumbung kayu . penari Joged tersebut pada awal penampilannya
menari sendiri yang disebut ngalembur. Setelah
bagian tarian tersebut dilakukan, si penari mencari seorang pasangannya seorang
laki-laki. Salah seoarang penonton laki-laki dihampiri oleh si penari, dan
laki-laki itu kemudian diajaknya menari bersama-sama atau ngibing. Si penari berganti-ganti pasangan yang dia ambil dari
penonton yang dipilihnya, terus- menerus seperti itu sampai batas waktu pentas
yang di sepakat. Bahkan dewasa ini pagelaran Joged Bumbung dikomersilkan dengan sistem “kupon”, jadi yang ingin
mendapat giliran menari harus mengantri sesuai urutan kupon yang telah dibeli.
Joged Bumbung ini biasa digelar pada acara-acara pernikahan, perayaan hari besar Hindu, hari besar
Nasional, nyambut gawe, di tempat-tempat
pariwisata dan sebagainya. Tari Joged
Bumbung ini sangatlah populer di masyarakat Bali, bisa dikatakan Joged Bumbung merupakan tarian yang
merakyat, semua golongan bisa menonton pertunjukan tersebut tanpa memandang
kedudukan atau status sosial. Ketika di wilayah Pura pun Joged Bumbung di pertunjukan di Jaba,
dimana semua kegiatan bisa dilakukan di tempat tersebut. Tentunya
orang-orang dari kalangan apapun dapat beraktifitas disana, termasuk remaja dan anak-anak pun dengan bebas dapat
menonton pertunjukan di Jaba[2] khususnya pertunjukan Joged Bumbung.
Joged Bumbung begitu melekat pada masyarakat Bali karena memiliki aspek hiburan yang
sangat tinggi. Antusiasme masyarakat terhadap kesenian ini sangatlah besar
khususnya para remaja yang sedang masuk masa pubertas. Masyarakat
berbondong-bondong jika ada suatu pertunjukan Joged Bumbung di sekitar tempat tinggal mereka. Oleh karena itu
pagelaran Joged Bumbung tidak pernah
sepi dengan penonton. hampir semua orang di Bali pernah ikut memeriahkan perhelatan
Joged Bumbung tersebut.
·
Gerak Paibing Ibing Joged Bumbung
Gamelan Grantang berlaras slendro dan kendang Bali yang di mainkan
oleh para penabuh memiliki peran penting dalam membangun agresifitas serta
menstimulan gerakan-gerakan atraktif dan “menantang” dari si penari. Penari
memakai pakaian khas untuk Joged Bumbung,
hiasan (ikat) kepala, kipas yang di pegang tangan, pakaian tari bali dengan
bawahan seperti rok dengan tujuan untuk memudahkan si penari memamerkan bagian
tubuh yang dapat menarik perhatian, serta semacam kain putih panjang yang di
berikan kepada penonton sebelum ngibing.
Pertama penari ngibing tanpa
pasangan, melakukan gerakan-gerakan erotis, bergoyang “ngebor”[3], menaik-naikan rok memampangkan paha bahkan bergoyang sampai pakaian
dalam bagian bawah si penari terlihat. Setelah beberapa waktu penari berjoged
sendiri, kemudian ia mengajak salah seorang penonton laki-laki dengan
memakaikan kain putih di pinggang penonton yang di pilih. Musik Bumbung terus dimainkan, penari dan
pasangannya mulai melakukan gerakan paibing
ibing.
Gerakan paibing ibing yang dilakukan pasangan tersebut selalu
dilakukan dengan bermesaraan. Setiap penonton yang ditarik untuk ngibing pasti mendapatkan perlakuan yang
dianggap “panas” oleh si penari. Adegan-adegan “panas” tersebut seperti memeluk
sambil melakukan gerakan suami istri (senggama) walaupun dilakukan sambil
berdiri, si penonton yang lepas kontrol biasanya mencium penarinya, kadang pula
pasangan ngibing saling mencolek
bagian vital satu sama lain, bahkan ada pula penonton yang terlentang kemudian
si penari bergoyang di atasnya. Itulah Joged
Bumbung ketika adegan erotis berlangsung penonton bersorak-sorai dan
tertawa terhibur dengan hal tersebut, mungkin juga para penonton laki-laki baik
dewasa atau remaja perasaannya bergejolak ketika adegan tersebut mereka lihat. Paibing Ibing adalah bagian yang paling
menarik, karena dari sini muncul asumsi pendidikan seksual untuk para penonton
muda dari perhelatan Joged Bumbung.
·
Joged Bumbung dan Pendidikan Seksual Kaum Muda
Menurut Salzman dalam
(Yusuf, 2005:184) menyatakan bahwa :
Remaja merupakan perkembangan sikap tergantung (depedent) terhadap orangtua kearah kemandirian (independent), minat-minat seksual,
perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika serta isu-isu
moral.
Hal diatas memperkuat asumsi penonton remaja di Bali mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan seksual dari sajian Joged
Bumbung, karena usia remaja mereka mulai memperhatikan dan mengarah
terhadap minat-minat seksual. Sajian Joged
Bumbung yang secara gamblang menampilkan adegan-adegan dewasa, tentunya
akan tersimpan dalam setiap memori remaja yang melihatnya. Mereka menyerap,
mengolah, dan masing-masing berbeda cara mensikapinya.
Kaum
muda identik dengan proses pencarian jati diri. Mereka mencoba mengejawantahkan
identitas guna menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dalam perjalanannya,
mereka cenderung mencari panduan maupun panutan. Tari merupakan salahsatu yang
berperan sebagai media sekaligus produk seni yang paling digemari anak muda.
Ini dikarenakan kemasannya yang tidak memaksa, justru sangat persuasif. Menurut
Coleman (2004), musik (kesenian dalam hal ini juga menyangkut tari) mempunyai
pengaruh lebih kuat dibanding media massa lain. Ia mampu memenuhi tuntutan kaum
muda dalam mengeksplorasi teks melalui lirik, audio melalui instrumen, serta
visual melalui aksi para penyaji. Ia menjadi bagian dari bagaimana anak
muda mendeskripsikan dirinya. Tentang siapa dia, apa musik kesukaannya. Menurut
Storey (2006, 129), mengonsumsi musik menjadi sebuah cara mengada (way of being) di dunia. Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya kaum
muda menilai dan dinilai oleh orang lain. (Amnestirmata.blogspot.com)
Adanya
tahap penerimaan pesan oleh penggemar/penonton biasanya dilanjutkan dengan
proses imitasi. Imitasi atau meniru adalah suatu
proses melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan role model. Menurut
Teori Peniruan Bandura, tokoh yang menjadi panutan dan menarik seseorang untuk
melakukan imitasi terhadapnya adalah seseorang yang disukai oleh pelaku
imitasi. Proses imitasi inilah yang membuat muatan seksualitas dalam tari tidak
berhenti pada saat pelaku tari menyatakannya di depan khalayak. Ia kemudian
diterima dan diaplikasikan oleh penggemar. Beberapa yang kritis melakukan
filterisasi atasnya. Sebagian lainnya menerima sekaligus mengaplikasikannya
secara keseluruhan.
(amestimarta.blogspot.com)
Seksualitas merupakan
bahasan yang perlu dikaji ulang dalam cakupan lebih luas. Hal tersebut berusaha
dikomunikasikan oleh tari, terutama melalui attitude-nya.
Pengiriman pesan termuat seksualitas oleh pelaku tari terhadap penonton atau
penggemar, yang keduanya merupakan bagian dari kaum muda, seharusnya disikapi
tidak semata-mata sebagai perusak moral generasi. Lebih dalam, ia mampu
dijadikan reflektor tentang sejauh mana seksualitas muncul dalam budaya kaum
muda. Bagaimana kaum muda memaknai seksualitas yang kemudian membentuk perilaku
seksual mereka. Dengan adanya pengkajian terhadap seksualitas dalam budaya kaum
muda yang direpresentasikan dan diproduksi ulang oleh musik, seharusnya
pembuat kebijakan dapat melihat bahwa akses atas informasi terkait seksualitas
yang edukatif perlu diangkat ke ranah pendidikan sehingga dampak negatif dari
pesan bermuatan seksualitas yang salah kaprah dapat diminimalisasi. Adanya
seksualitas dalam musik juga memberikan pengakuan tersendiri atas
keberadaan kaum minoritas seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual,
Transgender)sebagai bagian dari keberagaman masyarakat.
Joged Bumbung
merupakan tradisi masyarakat Bali yang perlu di lestarikan. Kaitan dengan
essensi apa yang ada di balik Joged
Bumbung perlu ada penelitian lebih lanjut. Penulis berharap kritikan dan
saran dari berbagai pihak terutama dosen pengampu mata kuliah Budaya Musik
Nusantara, karena tulisan ini masih banyak sekali kekurangan. Harapan penulis,
tugas ini merupakan batu loncatan untuk meningkatkan skill menulis sebagai kompetensi utama di bidang Etnomusikologi.
[1]
Tari Joged Bumbung ini ada
persamaannya dengan Tari Gandrung, hanya saja Tari Gandrung pada zaman dahulu
di tarikan laki-laki. (Djaus BA,1979: 55)
[2]
Bagian paling luar dari Pura, Pura dibagi kedalam 3 bagian yaitu Jeroan, Jaba Tengah, dan Jaba dalam.
(matakuliah Budaya Musik Nusantara semester III)
[3]
Istilah goyang yang di lakukan oleh arti dangdut Inul Daratista.